TRIBUNJATIM.COM, KEDIRI - Penerapan sistem Good Agricultural Practices (GAP) di Desa Kebonrejo, Kecamatan Kepung, Kabupaten Kediri, terbukti menjadi kunci peningkatan produktivitas pertanian, khususnya untuk komoditas cabai.
Berkat pendekatan pertanian yang menekankan efisiensi, keamanan pangan, dan keberlanjutan, Gapoktan Aneka Makmur Berdikari mampu mencatat hasil panen luar biasa: hingga 50 ton cabai merah besar dan 25 ton cabai rawit merah per hari.
GAP sendiri merupakan metode budidaya yang mengintegrasikan aspek teknis dan ekologis, memastikan hasil pertanian tidak hanya melimpah tetapi juga ramah lingkungan dan aman dikonsumsi.
Di tangan petani Kebonrejo, konsep ini menjelma menjadi praktiknyata yang berdampak besar bagi ketahanan pangan dan kesejahteraan petani lokal.
Sejak tahun 2019, Gapoktan tersebut telah mengoptimalkan prinsip GAP melalui dukungan dari Bank Indonesia yang bersinergi dengan pemerintah setempat. Salah bentuk langkah awalnya adalah pendirian rumah kompos yang dikelola bersama Generasi Baru Indonesia (GENBI).
Di tempat ini, petani belajar memproduksi pupuk organik, sebagi bagian dari sistem pertanian terpadu (integrated farming) dan upaya mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia.
Baca juga: Wajah Baru Museum Kediri Hadirkan Jejak Budaya Bumi Panjalu, Arca Kepala Buddha Jadi Koleksi Andalan
Tak hanya itu, pembangunan Greenhouse sebagai rumah bibit juga menjadi tonggak penting dalam proses budidaya. Dengan fasilitas ini, benih cabai dipersiapkan dalam lingkungan yang lebih terkontrol, sehingga pertumbuhan awal tanaman menjadi lebih kuat.
Untuk menunjang kebutuhan air, Bank Indonesia juga membantu membangun embung yang berfungsi sebagai sumber irigasi utama, terutama di musim kemarau, lengkap dengan sistem pipanisasi dan irigasi tetes yang efisien.
Dukungan juga diperkuat dengan pendampingan dalam pengolahan produk turunan, di mana para petani, khususnya kelompok perempuan, dilatih memproduksi olahan cabai seperti saus dan sambel dalam kemasan. Produk- produk ini kini menjadi nilai tambah baru bagi para petani di luar panen segar sekaligus membuka peluang pasar lebih luas.
Ketua Gapoktan, Sumeri, mengatakan bahwa perubahan pola tanam secara bertahap dilakukan sejak kelompoknya mengikuti program pembuatan pupuk organik dan rumah kompos. Setelah itu, pendampingan diperluas ke aspek pengelolaan lahan, sistem pengairan, hingga produksi benih secara mandiri.
“Awalnya kami hanya fokus tanam biasa. Tapi setelah ikut pelatihan GAP, kami mulai sadar bahwa semua proses itu harus terukur dan dirawat dari awal. Hasilnya sekarang jauh lebih baik dan stabil, peningkatannya bahkan 20 persen setelah GAP diterapkan,” jelasnya.
Penerapan GAP di klaster ini tidak hanya sebatas teknik budidaya, tetapi mencakup pengelolaan hulu ke hilir. Di sisi hulu, petani mulai menggunakan benih unggul yang sesuai dengan kondisi iklim dan tahan terhadap serangan hama.
Lahan juga dikelola dengan sistem tumpangsari dan sirkulasi tanaman, untuk menjaga keseimbangan unsur hara tanah.
Untuk nutrisi tanaman, digunakan kombinasi pupuk organik dari kompos dan kandang, serta pupuk anorganik dengan dosis terukur.
Petani juga diajarkan penggunaan pestisida secara terbatas dan selektif, serta penerapan pengendalian hama alami dengan rotasi tanaman dan predator musuh alami.
Sistem irigasi juga menjadi bagian penting dari praktik GAP. Sejak 2018, para petani diberikan fasilitas berupa embung (waduk mini) berukuran 6.000 m2 dengan kedalaman 3,5 meter dan pemasangan pipanisasi.
Sistem irigasi tetes pun mulai digunakan untuk memastikan distribusi air efisien dan tidak boros, terutama saat musim kemarau.
Menurut Sumeri, salah satu dampak paling nyata dari GAP adalah efisiensi biaya produksi.
“Kalau dulu kami banyak mengeluarkan biaya untuk penanganan hama dan pupuk, sekarang lebih hemat karena semua sudah direncanakan dari awal. Selain itu bantuan berupa pemberian traktor juga sangat membantu dari segi efektivitas.,” ungkapnya.
Bagi Sumeri, seluruh pendampingan yang diberikan oleh Bank Indonesia bukan sekedar bantuan, melainkan solusi nyata yang menjawab kebutuhan petani di Lapangan.
Dampaknya adalah peningkatan hasil panen, efisiensi biaya produksi, dan peluang pasar baru dari produk olahan menjadi bukti nyata manfaat program.
Dengan sistem pertanian yang lebih terukur dan berkelanjutan, para petani di Kebonrejo menjadi lebih percaya diri menghadapi musim tanam, sekaligus lebih siap bersaing di pasar yang semakin kompetitif.
Kesuksesan dari klaster cabai Kebonrejo menjadi contoh bagaimana sinergi antara petani dan lembaga pendukung seperti Bank Indonesia dapat menghasilkan transformasi nyata.
Bukan hanya hasil pertanian, tetapi juga cara pandang dan cara kerja petani yang kini menjadi lebih modern, mandiri dan adaptif terhadap zaman.