Karena, biang permasalahan, sopir truk di jalanan kerap dianggap melanggar Pasal 277, karena pihak pengusaha semena-mena menentukan tarif ongkos pengangkutan dan pengiriman muatan.
"Karena selama ini yang terjadi di lapangan pihak yang punya barang selalu seenaknya sendiri bawa muatannya harus banyak dan ongkosnya seenaknya sendiri," katanya.
Selain itu, lanjut Angga, pihaknya juga berharap aparat berwajib memberantas aksi premanisme yang kerap menargetkan para sopir di jalanan.
Premanisme yang dimaksud bukan sebatas aksi kejahatan jalanan yang dilakukan oleh pelaku atau bandit bersenjata yang sadis.
Melainkan juga dimaksudkan, terhadap oknum-oknum aparat berwajib yang disebutnya melakukan praktik lancung ala preman seperti pungutan liar atau sejenisnya yang menargetkan sopir.
"Tapi terkadang memang aksi tersebut dilakukan oleh beberapa oknum. Dan itu kasusnya memang banyak bukannya di wilayah Jawa Timur tapi juga di wilayah provinsi lain," jelasnya.
Terakhir, Angga berharap, adanya kesetaraan semua pihak di mata hukum.
Pasalnya, dalam konteks isu permasalahan para sopir, selama ini, aparat berwajib cuma menindak para sopir dari perseorangan atau pengusaha kecil di pinggiran.
Sedangkan kalangan sopir yang membawa muatan dari perusahaan-perusahaan besar, seakan-akan seperti kebal dari hukum dan tak terjamah peraturan dari aparat berwajib.
"Perlakuan dengan PT-PT atau perusahaan yang besar itu berbeda. Perusahaan besar yang muatannya lebih banyak itu mereka itu dibiarkan berlalu lalang," pungkasnya.