Bukan sekadar gambar, tato-tato itu adalah simbol, penanda status bangsawan dan kecantikan bagi perempuan Dayak Kenyah di masanya.
Ia mulai ditato sejak usia 16 tahun, sebuah tradisi yang kala itu menjadi kebanggaan dan identitas yang tak terpisahkan.
Nenek Gelam masih ingat betul, masa-masa ketika ia masih berkumpul dengan komunitasnya di kampung halaman lamanya, Long Nawan, Kalimantan Utara.
Baca juga: Progres Kasus Kredit Fiktif Bank Pelat Merah, Jaksa Ponorogo Tambah 2 Tersangka Baru, ini Perannya
Saat itu, banyak perempuan Dayak yang bangga mengenakan tato dan memanjangkan telinga mereka dengan anting-anting pemberat.
Namun, kini, Nenek Gelam adalah salah satu dari sedikit yang tersisa, mungkin bisa disebut generasi terakhir yang masih mempertahankan tato leluhur tersebut.
Ada satu penyesalan mendalam yang ia simpan.
"Dulu, saat saya masuk ke kota, orang Dayak sering disebut-sebut makan manusia," kenang Nenek Gelam dengan nada getir pada Sabtu (21/6/2025).
Rasa malu dan stigma yang melekat pada saat itu mendorongnya untuk mengambil keputusan yang kini ia sesali: memotong telinga panjangnya yang khas Dayak.
Baca juga: Sosok Dimas Anggara Diduga Gampar Kiesha Alvaro saat Syuting, Okie Agustina: Tidak Profesional!
Identitas visual yang begitu kuat, yang membedakannya dari orang lain, terpaksa ia korbankan demi menghindari cibiran dan pandangan negatif masyarakat kota.
Kisah Nenek Gelam tak berhenti di sana. Ia memiliki lima orang anak dan sepuluh orang cucu.
Ironisnya, tak satupun dari keturunannya yang meneruskan tradisi tato ataupun telinga panjang.
"Mereka malu untuk pakai itu lagi di zaman sekarang," ujar Nenek Gelam, suaranya sarat akan kekecewaan namun juga pengertian.
Bagi mereka, tradisi tersebut mungkin terasa kuno dan tidak relevan dengan kehidupan modern.
Baca juga: Kunjungi Bondowoso, Wapres Gibran Ikut Petik Kopi hingga Berdialog dengan Petani
Padahal, bagi Nenek Gelam, hal itulah yang menentukan sebuah budaya dan tradisi, yang membentuk identitas diri seorang Dayak Kenyah.
Nenek Gelam adalah sejarah budaya yang hidup, sebuah aset yang berjalan di tengah modernisasi.