Nurbaeti Cemas Teras Cihampelas akan Dibongkar Dedi Mulyadi, sang PKL Mohon Perbaikan: Kasihan Kami

Penulis: Ani Susanti
Editor: Mujib Anwar
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

KEBIJAKAN DEDI MULYADI - Sejumlah kios dan tenda pedagang kaki lima yang masih bertahan di salah satu sudut Teras Cihampelas, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (4/7/2025) dan kondisi Teras Cihampelas saat ini, banyak vandalisme dan kerusakan beberapa ornamen.

TRIBUNJATIM.COM - Rencana Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, membuat para Pedagang Kaki Lima (PKL) Teras Cihampelas cemas.

Baru-baru ini, Dedi Mulyadi mengungkapkan niatnya untuk membongkar Teras Cihampelas, salah satu ikon kota Bandung peninggalan era Wali Kota Ridwan Kamil.

Hal itu ia sampaikan saat menghadiri peresmian rute baru Susi Air Bandung–Yogyakarta di Bandara Husein Sastranegara, Rabu (2/7/2025).

Dedi menyinggung kondisi Jalan Cihampelas yang dinilainya semrawut dan tidak nyaman untuk dilalui.

"Pak Wali Kota harus berani merapikan Jalan Cihampelas karena kalau lewat ke situ jalannya menyempit dan bau haseum (asam)," kata Dedi kepada Wali Kota Bandung Muhammad Farhan.

 

Mengenai hal tersebut, sejumlah PKL yang berjualan di kawasan Teras Cihampelas menyatakan penolakannya.

Mereka menilai, dibandingkan dibongkar, lebih baik Teras Cihampelas diperbaiki dan difungsikan kembali sebagaimana mestinya.

Para pedagang berpendapat bahwa tempat itu masih memiliki potensi ekonomi jika dikelola dengan baik.

"Kami kan cari makannya di sini, masa mau dibongkar sih. Kasihan dong kaminya," ujar Nurbaeti (62), pedagang di Teras Cihampelas, Jumat (4/7/2025), melansir dari Kompas.com.

Nurbaeti mengungkapkan, sejak dibangun 2017, Teras Cihampelas belum pernah mendapatkan perbaikan atau revitalisasi.

Sejumlah fasilitas seperti toilet, lampu, dan lain-lain mulai rusak.

Ia berharap Pemkot Bandung dapat mempertimbangkan ulang rencana pembongkaran dan lebih fokus pada perbaikan infrastruktur serta penataan ulang kawasan.

"Kami di sini enggak bakal setuju (dibongkar). Mendingan dibenerin. Ya gitu kan kalau menurut ibu, gitu daripada dirobohin," katanya.

 

Nurbaeti mengatakan bahwa selama tiga tahun pertama sejak dibuka, omzet para pedagang makanan dan aksesori mengalami peningkatan berkat ramainya pengunjung dan wisatawan.

Namun, sejak pandemi Covid-19, jumlah pengunjung menurun drastis dan hal tersebut sangat berdampak langsung pada penjualan.

Para pedagang, kata ia, kini lebih berjuang untuk kembali di bawah Teras Cihampelas.

Dengan begitu, aktivitas di atas jembatan semakin sepi.

"Orang pada malas naik lagi gitu. Cuma memang diakui ada penurunan setelah terjadinya Covid-19. Terus juga karena sudah enggak kayak dulu lagi orang ramainya," tutur Nurbaeti.

Senada dengan Nurbaeti, pedagang lainnya, Ina Wanasih (65), menyebutkan bahwa yang membuat matinya Teras Cihampelas tak lain berasal dari para pedagangnya sendiri.

 

Sebagian besar para pedagang aksesori memilih kembali berjualan di trotoar jalan.

Padahal, kata dia, hal tersebut bisa menambah kemacetan, mengingat Jalan Cihampelas merupakan salah satu jalan yang rawan macet sejak dulu, ketika masih dikenal sebagai sentra penjualan celana jeans.

"Saya juga enggak bisa apa-apa karena ini urusan perut kan. Pasti mereka balik lagi ke bawah karena mungkin biar cepat laku," katanya.

Meski demikian, para pedagang yang masih bertahan berjualan di Teras Cihampelas juga sudah mengusulkan dan mengajak kembali rekan sesama pedagang untuk kembali naik ke atas agar bisa kembali ramai seperti dulu.

"Yang bikin orang malas lagi ke atas karena mereka mau beli kaus, mau beli tas, semua sudah ada di bawah," ucap Ina.

Saat ini, dari 191 kios yang ada di Teras Cihampelas, hanya 32 pedagang yang tetap bertahan.

 


Di sisi lain, menurut Ketua Umum Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Georgius Budi Yulianto, Teras Cihampelas di Kota Bandung perlu disikapi secara cermat dan kritis.

Arsitek yang kerab disapa Boegar ini menilai, Teras Cihampelas adalah struktur fisik yang dibangun di atas ruas jalan, tetapi juga merupakan merupakan simbol dari upaya mencari solusi atas kompleksitas ruang kota yang semakin padat.

"Oleh karena itu, pertanyaan mendasarnya bukan sekadar apakah fasilitas ini akan dibongkar atau dipertahankan, melainkan apakah keputusan itu lahir dari pertimbangan jangka panjang yang berlandaskan kebutuhan warga, bukan semata-mata narasi beautifikasi kota?," ungkap Boegar kepada Kompas.com, Jumat (4/7/2025).

Boegar mempertanyakan betapa penting konteks dan pertimbangan dahulu dibalik rencana pembangunan Teras Cihampelas.

"Apakah didasari oleh evaluasi yang objektif atas performa Teras Cihampelas sebagai ruang publik, ataukah hanya menjadi bagian dari agenda estetika kota yang ingin menghilangkan elemen-elemen yang dianggap tidak "Instagrammable"?," tanya Boegar.

Padahal, alam perencanaan kota yang berorientasi pada warga atau people-centered urbanism merupakan ukuran keberhasilan suatu infrastruktur bukan pada tampilan, melainkan pada kemampuan menjawab kebutuhan masyarakat seperti aksesibilitas, kenyamanan, keamanan, dan fungsi sosial.

 

Boegar berpendapat, Teras Cihampelas seharusnya dirancang sebagai upaya merelokasi dan merapikan PKL serta memberikan ruang pedestrian (pejalan kaki) lebih layak.

Namun dalam praktiknya, efektivitas ruang ini justru menimbulkan banyak pertanyaan.

"Apakah ruang ini benar-benar hidup? Apakah pedagang mendapatkan keuntungan dari relokasi ke atas? Atau kah justru terjadi alienasi ruang, di mana lokasi yang terpisah dari sirkulasi utama menghambat aktivitas ekonomi dan sosial?," sambungnya.

Jika kenyataannya fungsi tersebut tidak berjalan maksimal, maka perlu ada evaluasi menyeluruh, bukan sekadar pembongkaran yang bersifat reaktif.

Dilema dari sisi lingkungan dan lalu lintas
Dari sisi lingkungan dan lalu lintas, kehadiran Teras Cihampelas juga menimbulkan dilema.

Pada satu sisi, ruang publik ini mengurangi kepadatan trotoar dan memberikan ruang pejalan kaki tambahan.

Namun di sisi lain, struktur ini berpotensi menambah beban visual dan termal di kawasan yang sudah padat, sekaligus menimbulkan masalah drainase jika tidak dikelola dengan baik.

Sementara dari perspektif kemacetan, jika sistem sirkulasi pengunjung tidak terintegrasi dengan baik, maka justru menambah keruwetan lalu lintas di kawasan tersebut.

Artinya, dampak ekologis dan mobilitas tidak boleh diabaikan dalam analisis pembongkaran maupun pelestarian.

 

Namun demikian, kota-kota besar di dunia menghadapi persoalan serupa dan memilih pendekatan reaktivasi ruang, bukan destruksi.

Penyesuaian desain, perbaikan aksesibilitas, serta pendekatan kurasi program bisa menjadi alternatif yang lebih bijak. 

Akhirnya, keputusan membongkar atau mempertahankan Teras Cihampelas seharusnya mempertimbangkan hal tersebut.

"Jangan lupa apakah keberadaannya juga menambah biaya operasional kota untuk merawatnya? (Ada) beberapa titik sudah berkarat yang berpotensi pada kerusakan struktur. Dibutuhkan audit teknis, sosial-ruang, evaluasi dampak secara komprehensif, serta keterlibatan warga dalam proses pengambilan keputusan," lanjutnya.

IAI berharap Bandung dapat menjadi contoh bagaimana kota menata diri tanpa kehilangan jejak eksperimen dan memori kolektifnya.

Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com

Berita Terkini