Kisah Pasangan Lansia di Hutan Jombang, Setia Hidup Berdua Selama 50 Tahun, Bertahan dari Hasil Alam

Penulis: Anggit Puji Widodo
Editor: Sudarma Adi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

HIDUP DI HUTAN - Sarjo (91) atau Mbah Jo dan Mbok Pat saat ditemui di kediamannya yang lokasinya berada di tengah hutan Desa Kromong, Kecamatan Ngusikan, Kabupaten Jombang, Jawa Timur pada Senin (11/8/2025). Jika mati hanya ingin dikubur di tempat yang sama tidak ingin dibawa keluar dari area rumahnya. 

Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, Anggit Pujie Widodo

TRIBUNJATIM.COM, JOMBANG - Di tengah rimbunnya hutan Desa Kromong, Kecamatan Ngusikan, Kabupaten Jombang, Jawa Timur hidup sepasang suami istri lansia yang setia mendampingi satu sama lain lebih dari 50 tahun. 

Patmuani (59), yang akrab disapa Mbok Pat, dan suaminya, Sarjo (91) atau Mbah Jo, memilih menetap jauh dari keramaian desa. Tak ada tetangga, tak ada hiruk-pikuk, hanya suara angin, nyanyian burung, dan gemerisik daun yang menemani.

Mbok Pat menikah dengan Mbah Jo ketika usianya baru 13 tahun. Pertemuan mereka sederhana, dijodohkan keluarga setelah keduanya saling mengenal di desa. 

Sejak itu, kehidupannya berpindah mengikuti suami. Pada 1997, pasangan ini memutuskan menetap di hutan, membangun rumah sederhana, dan hidup dari hasil alam.

“Hidup di sini itu nyaman, tidak ada bisik-bisik tetangga. Kalau sudah waktunya Allah memanggil, saya ingin dikubur di sini saja,” ucap Mbok Pat saat ditemui awak media di kediamannya pada Senin (11/8/2025). 

Baca juga: Meriah Pawai Budaya Desa Brambang Jombang, Tampilkan Busana Adat hingga Mobil Jadi Panggung Tarian

Setiap hari, ia mencari daun lamtoro untuk pakan kambing peliharaannya. Sesekali ia masuk hutan mencari sayuran liar seperti sayur wangon, simbulan, hingga lempuyang. 

Hasilnya dijual di pasar, meski jaraknya belasan kilometer dari rumah. Kadang ia berangkat tengah malam dengan sepeda onthel, kadang berjalan kaki. 

“Setiap jam 12 malam berangkat ke pasar, sampai pasar itu jam 01.30 WIB  Kalau pulang ya bawa uang seadanya, yang penting bisa makan,” katanya.

Sementara itu, Mbah Jo mengurus ladang. Jagung, padi, ubi-ubian, hingga pepaya mereka tanam untuk makan sehari-hari. Hasilnya tidak hanya untuk mereka, tetapi juga kerap dibagikan kepada orang yang membutuhkan.

“Kalau ada yang butuh, ya saya kasih saja. Pinjam-pinjam itu kan bikin orang mikir berat. Mending langsung diberi,” ujarnya.

Mbok Pat lahir di Surabaya, lalu dibawa ke Desa Kromong saat berusia tiga tahun. Kedua orang tuanya telah tiada sejak ia kecil, bahkan ia tak tahu di mana makam mereka. 

Kehilangan itu membuatnya terbiasa hidup mandiri, keluar masuk hutan, hingga akhirnya bertemu pendamping hidupnya yakni Mbah Jo.

Meski hidup jauh dari fasilitas, ia mengaku tidak mengharapkan bantuan dari pemerintah. “Kalau dikasih, ya saya terima. Kalau enggak, ya saya diam saja. Kami masih bisa makan dari hasil kebun dan hutan,” ucapnya.

Sementara sang suami, Mbah Jo, sudah lebih dulu hidup dari alam sejak 1975, mengolah tanah, menanam, dan memanfaatkan hasil hutan untuk bertahan hidup. 

Halaman
12

Berita Terkini