TRIBUNJATIM.COM - Mardiuita memiliki kisah hidup yang getir dan penuh keharuan.
Setelah menunggu lebih dari dua dekade, penantian Mardiuita akhirnya berakhir.
Ia mendapatkan rezeki untuk membuat paspor dan langsung memutuskan berangkat ke Timor Leste.
Dengan perjalanan darat selama lima jam, ia kembali menjejak kampung halamannya.
Namun, suasana sudah tak sama lagi.
Sejumlah kerabatnya telah meninggal, sementara wajah-wajah yang ia kenal dulu kini berubah dimakan usia.
Tak kuasa menahan haru, Mardiuita menangis saat akhirnya bisa memeluk keluarganya kembali.
“Saya menangis terharu, sedih dari tahun 1999 sampai 2024 sedihnya hampir mau mati. Tapi bagaimana, kita sudah berbeda pendapat, kita mau tak mau harus ikut Indonesia,” kata dia.
Kunjungan Kompas.com ke Malaka merupakan bagian dari ekspedisi menuju perbatasan bersama Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) RI.
Ekspedisi serupa turut dilakukan di PLBN Motaain, PLBN Motamasin, PLBN Wini dan PLBN Aruk.
Mencoba hubungi keluarga
Sejak perpisahan itu, Mardiuita tak pernah berhenti mencoba berhubungan dengan keluarganya.
Ia beberapa kali meminta bantuan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk mengirim surat hingga rekaman video ke Timor Leste.
“Saya coba hubungi lewat surat, saya bikin video juga, LSM kirim ke sana,” katanya.
Balasan memang datang, tetapi bagi Mardiuita, itu belum cukup. Ia ingin bertemu langsung dan bisa memeluk keluarganya. Namun, keinginan itu terhalang oleh keterbatasan ekonomi.