TRIBUNJATIM.COM - Perjuangan Rabiyatul Dwi Andita atau akrab disapa Dita mengajar murid di SDN 6 Mentaya Seberang, Desa Ganepo, Kecamatan Seranau, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah (Kalteng) penuh lika-liku.
Ia harus naik perahu terlebih dahulu untuk menuju sekolah.
Perahu itu tidak gratis dan dalam sebulan ongkos yang ia keluarkan mencapai Rp300 ribu.
Sementara gaji yang didapat sebagai guru honorer hanya Rp500 ribu.
Kisah guru honorer Dita ini viral setelah sebuah video diposting di media sosial.
Dalam video tersebut menampilkan sembilan guru, termasuk kepala sekolah, di mana dua orang di antaranya sedang hamil muda tetapi tetap menjalankan tugas mengajar.
Para guru duduk di antara kursi papan di perahu sambal menutupi tubuhnya dengan payung karena hujan.
Baca juga: Pernyataan Asli Sri Mulyani soal Gaji Guru dan Dosen yang Viral, Bantah Beban Negara
Digaji Rp500 Ribu, Ongkos Perahu Habis Rp300 Ribu
Guru Dita bercerita, setiap hari dalam sepakan, Senin hingga Sabtu para guru naik perahu untuk menuju sekolah.
Rutenya memerlukan waktu sekira 30 menit.
Sekira 20 menit naik perahu, dan sisanya berjalan kaki menuju sekolah.
Transportasi menuju sekolah tak gratis sekira Rp300 ribuan per bulan.
Sedangkan, honor yang diterimanya sebagai guru honorer Rp500 ribu.
Setelah dipotong kebutuhan dan transportasi, gaji bersih yang diterima sekira Rp200 ribu per bulan.
Ia tak ingin mengeluh.
Faktanya, profesi itu sudah dijalaninya dua tahunan.
Guru Dita merasa keberadaannya di pedalaman bukan sekedar mengajar, melainkan juga menjadi sumber pengetahuan dan inspirasi bagi anak-anak serta masyarakat sekitar.
“Alasan saya pribadi menjadi guru itu untuk menjadi teladan dan inspirasi. Melihat anak-anak belajar dan mampu memahami apa yang kita ajarkan, rasanya campur aduk antara bangga, haru, dan senang," ujar guru Dita kepada Tribun Kalteng, Rabu (20/8/2025).
Baca juga: Guru Sekolah Rakyat Mundur karena Khawatirkan Sertifikasi, Harus Kerja 24 Jam Dalam Seminggu
Masih Kuliah S1 Semester III
Guru Dita mengakui masih kuliah S1 jurusan PGSD semester III saat menjalani profesi mengajar.
Meski demikian, ia mengaku ijazah kuliahnya belum bisa dimanfaatkan sepenuhnya untuk mendaftar posisi formal sebagai guru.
Setiap hari, guru Dita berangkat pukul 06.00 WIB dan tiba di sekolah pukul 07.00 WIB.
Waktu pulang bergantung pada kelas yang diajar, kelas rendah pukul 12.00 WIB dan kelas tinggi sekitar pukul 13.00 WIB.
"Semua guru selalu pulang bersama karena harus menunggu seluruh jadwal mengajar selesai," bebernya.
Dirinya berharap kesejahteraan guru honorer, khususnya yang bertugas di pedalaman, mendapat perhatian lebih dari pemerintah.
Ia juga bertekad terus mendampingi anak-anak agar memiliki masa depan yang lebih cerah.
“Kita sebagai guru adalah akar dari generasi bangsa. Bagaimana mungkin pohon bisa berdiri kokoh tanpa akar? Jadi jangan menyerah untuk mencerdaskan anak-anak bangsa,” tegas Dita.
Baginya, kebahagiaan seorang guru sejati adalah ketika melihat murid-muridnya berhasil meraih mimpi mereka, meski harus menembus hujan dan menyeberangi sungai setiap hari demi pendidikan anak-anak pedalaman.
Baca juga: Harus Setor Rp30-60 Juta ke Disdik sebagai Uang Pelicin, Para Guru Mengeluh
Semua Anak Berhak Belajar Meski di Pelosok
Sebagai guru, ia berpendapat semua anak berhak belajar, apalagi para muridnya yang tinggal jauh di pelosok.
Sejak dua tahun mengabdi, Dita merasakan suka duka yang luar biasa.
Ia bahagia melihat semangat belajar anak-anak yang tinggi meski penuh keterbatasan.
Namun, tantangan besar juga selalu mengintai, mulai dari keterbatasan fasilitas hingga akses yang sulit.
“Keterbatasan fasilitas, akses yang sulit, serta gaji yang sangat kecil memang jadi tantangan tersendiri."
"Kadang harus lebih sabar dan kreatif. Tapi semua itu terbayar dengan senyuman anak-anak dan dukungan masyarakat sekitar,” tuturnya.
Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews Tribunjatim.com