Ini Kisah Sugeng Si Pemutilasi di Malang, Punya Gangguan Jiwa, Pernah Pukul Ayah Hingga Bakar Rumah
Ini Kisah Sugeng Si Pemutilasi di Malang, Punya Gangguan Jiwa, Pernah Pukul Ayah Hingga Bakar Rumah.
Penulis: Rifki Edgar | Editor: Sudarma Adi
TRIBUNJATIM.COM, MALANG - Usai sudah, perburuan polisi mengenai siapa pelaku yang telah melakukan mutilasi di Matahari Pasar Besar Malang pada Selasa (13/5/2019).
Dia adalah Sugeng Angga Santoso, orang yang dulunya pernah berdomisili di Jodipan Wetan Gang Ill RT 04 RW 06 Kota Malang.
Sugeng kerap dikenal sebagai orang yang memiliki gangguan jiwa karena beberapa kasusnya dulu ketika tinggal di Jodipan.
• KEJANGGALAN Pengakuan Pemutilasi di Pasar Besar Malang: Kisah Kenalan hingga Pesan Terakhir Korban
• Sebelum Tangkap Pelaku Mutilasi Mayat di Pasar Besar Malang, Polisi Telusuri Nama Selain Sugeng
• Polisi Rilis Sketsa Wajah Korban Mutilasi di Pasar Besar Kota Malang, Pelaku Mengaku Diminta Korban
Menurut Narko (51) yang dulu tetangga Sugeng mengatakan, bahwa Sugeng dulunya pernah membakar rumahnya sewaktu tinggal di Jodipan.
Sugeng juga pernah memotong lidah kekasihnya dan memukul kepala ayahnya dengan menggunakan palu.
"Sugeng ini dari dulu selalu bikin gempar warga. Bahkan, Sugeng juga pernah di usir dari sini (Jodipan) sekitar 7-8 tahun lalu," ujarnya.
Narko paham betul dengan Sugeng karena rumahnya berdempetan dengan Sugeng.
Narko mengatakan, bahwa Sugeng memang dari dulu memiliki kelainan.
Tak hanya Sugeng saja, namun beberapa keluarganya juga memiliki sifat aneh seperti Sugeng.
"Amit sewu, sepertinya gangguan ini sudah menggaris di keluarganya. Buktinya keluarganya saja sudah tidak tahu menahu," ucapnya.
Selama menjadi tetangganya dulu, Narko merasa bahwa Sugeng selalu membuat ulah.
Hingga Narko pernah melaporkan Sugeng ke Polisi lantaran hampir membakar rumahnya pada tahun 2011.
Meski demikian, polisi belum bisa mengurus Sugeng lantaran sugeng pernah masuk Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Lawang.
Hal inilah, yang membuat polisi enggan untuk menangkap Sugeng.
"Sugeng ini kalau berbicara sama orang normal modelnya seperti orang gila. Tapi, kalau pihak Rumah Sakit Jiwa yang mengajak berbicara dia kayak orang normal. Itu yang membuat RSJ tidak membawanya," terang Narko.