Longsor Maut di Ponorogo
6 Hari Tinggal di Pengungsian, Penyakit ini Serang Korban Longsor Ponorogo
Tinggal di pengungsian selama enam hari, pascalongsor, sejumlah pengungsi di Desa Banaran, Ponorogo mulai terjangking beberapa penyakit.
Penulis: Rahadian Bagus | Editor: Mujib Anwar
TRIBUNJATIM.COM, PONOROGO - Tinggal di pengungsian selama enam hari, pascalongsor, sejumlah pengungsi di Desa Banaran, mulai mengalami mual-mual dan pusing.
Kepala Dinas Kesehatan Ponorogo, Rahayu Kusdarini mengatakan, para pengungsi sudah merasa tidak nyaman dan gelisah selama tinggal di pengungsian.
Perasaan tidak nyaman itulah yang menyebabkan, kembung, mual dan pusing.
"Yang namanya ngungsi, sebagus apa tempatnya pasti tidak nyaman. Ketika orang tidak nyaman lama kelamaan akan menimbukkan stres. Stres itu kalau dibiarkan akan berbahaya juga," katanya saat ditemui di posko kesehatan, Kamis (6/4/2017).
Rahayu mengatakan, pascalongsor Dinas Kesehatan Kabupaten Ponorogo mendirikan sejumlah posko kesehatan. Setiap pos kesehatan dijaga, tiga orang terdiri dua perawat dan satu dokter.
Baca: Takut Terjadi Longsor Susulan, Siswa SD Ponorogo Pilih Belajar di Tempat Suci Ini
Rencananya, kata Rahayu, besok Jumat (7/4/2017) pagi, tiga dokter psikiater dari RSJ Solo akan datang untuk mendiagnosa psikologi dan kejiawaan para pengungsi, terutama yang menjadi korban.
"Akan didiagnosa setingi mana tingkat stres para pengungsi ini, sehingga perlu penanganan apa nanti akan dikaji," katanya.
Dikatakan Rahayu, rencananya besok Jumat (7/4) pagi, Pemkab Ponorogo juga akan membangun barak penampungan yang bersekat.
Harapannya, meski belum permanen, namun lebih nyaman dipakai istirahat dibandingan di pengungsian.
Baca: 25 Korban Longsor Belum Ditemukan, Bupati Ponorogo Ajak Warga Lakukan Ini
Rahayu menambahkan, selain pengungsi sejumlah relawan juga mengalami sakit. Di antaranya mengalami diare.
Pantauan di lokasi, hingga hari keenam pascabencana sejumlah pengungsi yang menjadi korban masih tidur bersama-sama di rumah kepala desa setempat.
Para pengungsi yang jumlahnya belasan ini tidur seadanya di ruang tengah rumah beralaskan tikar. Beberapa di antaranya tidur tanpa menggunakan bantal.
Ratun (60) misalnya. Nenek yang kehilangan putra dan menantunya ini mengaku sudah tidak nyaman tinggal di pengungsian.