Inilah Tempat Dugem di Surabaya Tempo Dulu, Hanya yang Penuhi Syarat Begini yang Boleh Datang
Seperti pada tahun-tanun sebelumnya, bulan Mei selalu menjadi bulan yang riuh di Surabaya.
TRIBUNJATIM.COM - Seperti pada tahun-tanun sebelumnya, bulan Mei selalu menjadi bulan yang riuh di Surabaya.
Bulan Mei merupakan bulan lahirnya Surabaya, tepatnya pada tanggal 31 Mei.
Surabaya memang merupakan kota yang sangat tua di Indonesia.
Sebab, pada tahu ini usia Surabaya sudah menginjak 724 tahun.
Sebagai kota yang sangat tua, Surabaya memiliki berbagai sejarah menarik.
Baca: 5 Aturan PSK Zaman Kolonial di Surabaya, Nomor 4 Keterlaluan, Pakai Kartu Saat Sedang. . .
Mulai dari awal mula berdirinya, kehidupan masyarakat pada zaman lampau, hingga aksi heroik para pahlawan dalam mempertahankan kemerdekaan di era revolusi kemerdekaan tahun 1945.
Khusus untuk kehidupan masyarakat, pada era kolonial, masyarakat Surabaya rupanya juga sudah mulai mengenal kehidupan malam.
Sehingga, tidak heran di Surabaya kala itu muncul sejumlah tempat dugem.
Berdasarkan buku Soerabaia Tempo Doeloe karya Dukut Imam Widodo, tempat-tempat dugem yang ada di Surabaya saat itu adalah Simpangsche Societeit atau Balai Pemuda, De Club di pojok Embong Malang, Societeit Concordia di Societeitstraat yang sekarang menjadi Jalan Veteran, Militair Cantine di Jalan Krembangan, dan Marine Societeit Moderlust di Oedjoeng.
Namun, satu lokasi yang cukup populer saat itu adalah Simpangsche Societeit atau Balai Pemuda yang ada di Jalan Simpang, atau sekarang Jalan Gubernur Suryo.
Bangunan tersebut didirikan pada tahun 1907.

Bentuk bangunannya terbilang unik, karena sampai sekarang tidak ada bentuk bangunan di Surabaya yang menyerupai gedung tersebut.
Kubahnya berbentuk menyerupai mahkota ratu.
Oleh masyarakat pribumi, bangunan itu disebut sebagai Roemah Kamar Bola.
Alasannya, lidah pribumi mereka kesulitan menyebut nama Simpangsche Societeit, dan ada meja biliar di tempat itu.
Saat malam hari, bangunan itu tampak terang benderang.
Puluhan lampu gas yang ada di tempat itu menyala terang, dan sangat indah.
Halaman gedung juga tampak megah, karena adanya belasan lampu gas yang digantung pada tiang yang berukir sangat indah.
Saat dibuka, sejumlah pengunjung yang mengendarai mobil datang ke tempat itu.
Semuanya merupakan orang kulit putih.
Tepatnya adalah bangsa Belanda, lalu Jerman, dan orang Eropa lainnya.
Mereka datang ke tempat itu tentunya untuk mencari hiburan, dan melepas lelah karena pekerjaan mereka sehari-hari cukup menguras tenaga.
Di halaman bangunan tersebut terdapat dua papan pengumuman.
Tulisan pada kedua papan pengumuman itu pun sama, yaitu "Verboden voor Inlander".
Artinya adalah pribumi dilarang masuk.
Saat itu, tempat tersebut memang terlarang bagi pribumi.
Kalaupun ada pribumi yang diperbolehkan masuk, hanyalah mereka yang bekerja sebagai pelayan di tempat itu.
Para pribumi yang bekerja di tempat itu harus mengenakan pakaian model jas tutup warna puth, dan celana yang juga berwarna putih.
Mereka juga harus mengenakan udeng sebagai penutup kepala mereka.
Namun, mereka semua tetap bertelanjang kaki.
Tugas yang harus mereka lakukan adalah menyajikan makanan dan minuman kepada para tamu.
Sedangkan menu makanan yang disajikan tempat itu juga cukup beragam.
Di antaranya ayam besengek, dendeng ragi, Semur Oma Lintje, Ayam Zwartzuur atau yang biasa dikenal ayam suar suir, sera Lapjes atau irisan daging, Klapepertaart, dan berbagai hidangan lainnya.
Usai menikmati makanan, biasanya mereka juga berdansa di tempat itu.
Saat berdansa, mereka diiringi oleh alunan musik berirama Waltz yang dimainkan oleh orkestra kecil.

Lagu-lagu yang mereka pilih saat berdansa adalah lagu-lagu karangan Johann Strauss.
Mereka berdansa secara berpasang-pasangan.
Semua itu berbaur dengan aroma minuman keras dan asap cerutu, yang mereka hisap saat berdansa.