Cuitan Trump Bantah Isi Buku 'Fire and Fury' Malah Bikin Khalayak Pertanyakan Kondisi Kejiwaannya
Topik kondisi kejiwaan presiden Amerika Serikat, Donald Trump menjadi pembahasan yang kembali muncul beberapa waktu ini.
TRIBUNJATIM.COM, WASHINGTON DC - Topik kondisi kejiwaan presiden Amerika Serikat, Donald Trump menjadi pembahasan yang kembali muncul beberapa waktu ini.
Topik ini sebelumnya sempat bergulir beberapa saat setelah Trump dilantik menjadi presiden Amerika Serikat.
Pertanyaan tersebut kembali mengemuka seiring diluncurkannya buku berjudul Fire and Fury: Inside the Trump White House karya jurnalis Michael Wolff.
Buku itu, menggambarkan Trump sebagai sosok tidak sabar, tidak bisa fokus, mengulang berbagai hal, dan mengoceh tanpa ujung-pangkal.
(Pasangan Farid-Wawan Pertama Daftar ke KPU Bangkalan)
Menanggapi hal ini, pihak gedung putih telah sampaikan bantahannya terhadap isi buku tersebut
Trump mengecam penggambaran yang dibuat Wolff dalam bukunya. Lewat Twitter, dia mengklaim dirinya sebagai "jenius yang sangat stabil" serta memiliki "dua aset terbesar yakni mental yang stabil dan sangat pintar".
Bantahan Trump dan gaya berbicaranya justru mendorong khalayak semakin menggunjingkan kondisi kejiwaannya
Ada yang menduga sang presiden mengidap Alzheimer hingga kepribadian narsistis.
Berikut pertanyaan seputar kondisi kejiwaan Trump yang ditulis oleh BBC.
1. Apakah kondisi kejiwaan Trump sudah pernah dibahas?
Beberapa psikolog sebelumnya telah berspekulasi mengenai gejala-gejala kelainan jiwa yang mereka klaim ada pada perilaku Trump.
Ada sejumlah buku yang membahas topik tersebut setelah Trump dilantik, seperti The Dangerous Case of Donald Trump karya Bandy X Lee, Twilight of American Sanity karya Allen Frances, serta Fantasylandkarya Kurt Andersen.
Bandy X Lee, selaku profesor bidang psikiatri dari Universitas Yale, mengatakan kepada sekelompok senator yang sebagian besar dari Partai Demokrat bahwa gangguan jiwa Trump "akan terungkap dan kita sedang melihat gejala-gejalanya".
Meski demikian, perlu diingat bahwa para penulis buku ini, termasuk Lee, belum pernah menangani Trump dan tidak pernah memeriksa kejiwaan Trump secara pribadi.
Kalaupun ada yang menangani Trump secara langsung, sosok itu akan terikat dengan standar etika serta undang-undang federal untuk tidak membeberkan kondisi pasien.
2. Mengapa kondisi kejiwaan Trump penting?
Jika Trump mengalami gangguan jiwa, dia bisa dilengserkan dari jabatannya sebagai presiden.
Sebagaimana dikemukakan dalam amandemen ke-25 pada Konstitusi AS, jika presiden dinilai "tidak sanggup menjalankan tugas dan kewenangannya", wakil presiden akan mengambil alih.
Untuk melakukannya, kabinet Trump dan Wakil Presiden Mike Pence harus memulai proses pengambilalihan tersebut.
Namun, saat ini tidak ada tanda-tanda proses itu hendak dijalankan.
(Ridwan,Pria Asal Tulungagung ini Pingsan Usai Menenggak Es Tee)
3. Apakah gangguan jiwa pernah dialami presiden AS sebelumnya?
Ya, beberapa presiden AS pernah mengalami gangguan jiwa. Misalnya, Abraham Lincoln yang mengidap depresi klinis.
Contoh lain, Ronald Reagan yang menjabat presiden pada 1981 hingga 1989. Dia mengalami kebingungan sehingga terkadang tidak bisa menentukan secara pasti di mana dia berada. Lima tahun setelah pensiun, Reagan didiagnosa mengidap Alzheimer.
Kendati begitu, amandemen ke-25 pada Konstitusi AS tidak pernah diterapkan untuk melengserkan presiden.
4. Adakah bukti-bukti bahwa Trump mengalami gangguan jiwa?
Tidak ada bukti-bukti konkret bahwa Trump mengalami gangguan jiwa.
Kalaupun ada, orang berwenang yang memeriksanya tidak bisa mengungkapkan hal itu ke publik karena terikat etika kedokteran dan aturan hukum.
Namun, dari pengamatan berbagai pihak, Trump amat mungkin mengalami serangkaian gejala Penyimpangan Kepribadian Narsistis (NPD).
Berdasarkan jurnal ilmiah Psychology Today, orang yang mengalami gangguan ini menunjukkan tiga hal:
-Bermegah diri, kurang bisa berempati ke orang lain dan merasa perlu dikagumi
-Merasa lebih superior atau berhak mendapat perlakuan istimewa
-Mencari perhatian secara berlebihan, susah dikritik, dan sulit mengakui kekalahan
Allen Frances, pakar yang menyusun kriteria diagnosa NPD, mengaku tidak bisa serta-merta menilai Trump mengalami NPD karena tidak terlihat stres.
"Trump lebih menyebabkan stres ketimbang mengalaminya. Dia juga sangat suka mendapat sanjungan, bukan hukuman, atas sikapnya yang bermegah diri dan kurang berempati," tulis Frances.
Berita di atas sebelumnya telah dipublikasikan di Kompas.com dengan judul Pertanyaan Seputar Kondisi Kejiwaan Donald Trump