Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

UMKM, Raksasa Ekonomi Jatim yang Tak Rontok Diterjang Krisis dan Naiknya Dolar Amerika

Krisis dan rontoknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tak berpengaruh terhadap UMKM di Jatim telah berkembang jadi raksasa ekonomi.

Penulis: Mujib Anwar | Editor: Mujib Anwar
TRIBUNJATIM.COM/IST
Gubernur Jatim Soekarwo, saat hadir di Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Bank Jatim tahun 2017, di Surabaya. 

TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Keberadaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Jatim benar-benar telah menjadi soko guru ekonomi bagi provinsi dengan 38 kabupaten/kota ini.

Disaat krisis global melanda dan kurs rupiah tembus diatas Rp 14.500 per dolar AS, pada Senin (13/8/2018), dampak dan pengaruh yang nyata terhadap perekonomian di Jatim tidak begitu terasa.

Salah satu penyebab utamanya adalah keberadaan UMKM yang telah menjadi darah untuk menggerakkan perekonomian dan pembangunan di Provinsi Jatim.

Maju dan terus berkembangnya UMKM di Jatim tak lepas dari peran serta semua pihak dan stakeholders terkait. Diantaranya, peran sentral Pemprov Jatim dan kalangan perbankan.

Lewat kredit lunak yang diberikan kepada UMKM, UMKM di Jatim tidak hanya bisa bertahan menghadapi era globalisasi dan perdagangan bebas.

Jumlahnya juga semakin banyak dan terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman teknologi informasi. Dampaknya, terciptanya lapangan kerja yang lebih luas bagi masyarakat.

Gubernur Jatim Soekarwo mengatakan, potensi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Jatim berdasarkan hasil survei Pendaftaran Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2008, jumlah UMKM ada 4,2 juta.

Jumlah tersebut pada Sensus 2012 yang hasilnya dipublikasikan 2013 melompat menjadi 6,8 juta.

“Berdasarkan sensus nasional di bidang ekonomi akhir tahun 2016 yang hasilnya dipublikasi 2017, jumlah UMKM di Jatim kembali naik signifikan menjadi 9,59 juta,” ujar owner Bank Jatim tersebut, kepada Tribunjatim.com, Jumat (10/8/2018).

Menurut Pakde Karwo, panggilan Soekarwo, perkembangan UMKM yang luar biasa di Jatim tersebut dalam prosesnya tak lepas dari tiga permasalahan penting. Yaitu, produksi, pembiayaan, dan pasar.

Dalam perkembangan seperti inilah, perbankan di Jatim, khususnya Bank Jatim dan Bank UMKM selaku BUMD milik Pemprov Jatim menpunyai peranan yang besar untuk tumbuhnya UMKM. Karena dari segi pembiayaan jadi prioritas utama di Jatim.

“Untuk Bank Jatim, 80 persen landing kredit di UMKM, sedangkan Bank UMKM sepenuhnya di UMKM,” jelasnya.

Saat ini, aset Bank Jatim, kata Gubernur Jatim dua periode sebesar Rp 60 triliun. Dari jumlah itu, lending kreditnya sekitar Rp 45 triliun atau 80 persennya ke UMKM. Sementara Bank UMKM, dengan aset Rp 2,3 triliun, lending kredit Rp 1,7 triliun dan semuanya ke UMKM.

Namun, ada hal yang berbeda, untuk Bank UMKM suku bunga 6-9 persen. Lalu Bank Jatim yang lewat BPR dan Bank UMKM suku bunganya 9 persen, dan yang langsung di Bank UMKM suku bunga cuma 6 persen, dan Bank Jatim sendiri suku bunganya 6-9 persen.

“Dari segi pembiayaan, jauh lebih rendah dibandingkan di luar dimana suku bunga UKM 18 persen,” tegasnya.

Untuk itu, Pemprov Jatim selaku owner Bank Jatim melalui Bank Jatim dan Bank UMKM memilih membesarkan pembiayaan murah dibanding membiarkan sesuai mekanisme pasar tentang suku bunga perbankan.

“Pengungkit inilah yang mempercepat perkembangan dan jumlah UMKM di Jatim,” imbuh Pakde Karwo.

Hal itu, kata mantan Sekdaprov Jatim ini, terbukti dengan terus naiknya peranan UMKM di Jatim. Jika tahun 2012, peranan UMKM di Jatim terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) 54,9 persen, tahun 2016 naik menjadi 57,52 persen.

Bahkan pada tahun 2017, dari PDRB Jatim yang mencapai Rp 2019 triliun, sebesar Rp 1290 triliun berasal dari kinerja UMKM.

“Ini peningkatan yang luar biasa,” tandasnya.

Data tersebut menunjukkan, bahwa bank punya peranan yang luar biasa terhadap pengembangan UMKM di Jatim. Karena memang tiga segitiga di dalam UMKM adalah produksi, pembiayaan, dan pasar.

Untuk produksi, dilakukan dengan memproduksi barang-barang yang sudah menjadi nilai tambah. Misalnya, dari pisang menjadi keripik pisang, dan kentang menjadi keripik kentang.

Di proses produksi itu dilakukan dengan pembiayaan murah. Demikian juga dengan di proses pemasaran, juga melalui pembiayaan murah dari segi pembiayaan.

“Karena itulah, peranan UMKM signifikan, baik dari jumlah (kuantitas) dan maupun dari peranan terhadap PDRB yang naik,” bebernya.

Selama empat tahun, dari 2012 ke 2016, peranan PDRB naik dari 54,9 persen menjadi 57,52 persen. Sedangkan dari segi jumlah, jumlah UMKM naik luar biasa dari 6,8 juta menjadi 9,59 juta.

“Artinya, lewat UMKM, Jatim menempatkan kemandirian ekonomi untuk menjadikan masyarakatnya lebih sejahtera,” imbuh Pakde.

Hal itulah, kata mantan Komisaris Bank Jatim ini, yang memperkuat ekonomi Jatim, sehingga tidak goyang disaat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS rontok, yang sekarang tembus lebih Rp 14.500 per 1 dolar AS.

Karena bahan baku UMKM di agro. Sementara dari 9,59 juta UMKM di Jatim, 4,61 juta bahan bakunya dari pertanian, sedangkan 4,98 juta sisanya dari non pertanian.

“Tetapi itu (bahan baku) non pertanian semua juga masih bagian daripada bahan  baku agro. Ada bahan baku yang non agro di situ. Dan peranannya sangat besar dengan pembiayaan murah,” katanya.

Kondisi tersebut, lanjut Pakde Karwo, membuat kompetisi dagang Jatim sangat kuat. Ini terbukti, bahwa lebih dari seperlima atau 20,70 persen beredarnya barang di Indonesia berasal dari Jatim.

Tahun 2017, nilai perdagangan antarprovinsi atau perdagangan antarpulau sebesar Rp 690 triliun untuk barang asal Jatim yang keluar, dan ada Rp 525 triliun lebih barang masuk.

Sehingga surplus perdagangan dalam negeri mencapai Rp 164 triliun.

Tahun ini, nilai perdagangan akan naik signifikan. Pasalnya, hingga semester pertama 2018 (selama bulan Januari sampai Juni), nilai perdagangan dalam negeri Jatim sudah surplus Rp 101 triliun.

Sehingga tahun 2018, Pakde Karwo optimis netto dari perdagangan antarpulau yang menjadi modal masuk di Jatim akan mencapai sebesar Rp 200 triliun.

“Perkembangan surplus nilai perdagangan yang sangat signifikan tersebut karena fungsi pembiayaan pemerintah yang benar-benar peduli terhadap UMKM,” tandasnya.

Agar pemberdayaan dan pengembangan UMKM di Jatim ke depan dapat terus dilakukan melalui peran serta sektor perbankan, suami Nina Kirana ini minta perbankan untuk realistis.

Bahwa, non performing loan (NPL) atau tunggakan untuk UMKM itu kecil. Namun, dari disiplin perbankan, kredit harus ada agunan. Sehingga, harus dikembangkan oleh perbankan kerjasama dengan asuransi terhadap pembiayaan itu.

“Makanya, Jamkrida dan asuransi lain harus berkembang. Bahkan kalau bisa include bank juga punya asuransi pada sisi usahanya dan sisi usaha terhadap pembiayaan,” ucapnya.

Sehingga nilai kredit terhadap UMKM bisa ditambah kalau ada asuransinya. Kecilnya landing kredit disebabkan ketakutan untuk menjadi utang atau NPL. “Itu yang harus dilakukan oleh pemerintah,” imbuhnya.

Meski demikian, para UMKM selaku debitur, kredit yang diterima harus dibuat berdasar proposal yang apa adanya. Harus ditanyakan kepada pendamping dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag), Dinas Koperasi dan UMKM, serta help desk dari pihak perbankan, kira-kira prospeknya seperti apa dengan hutang tersebut.

“Inilah fungsi pendampingan di perbankan, inilah fungsi penyelia di perbankan harus lebih aktif,” tegas Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI)ini.

Dengan apa yang dilakukan tersebut, Pakde Karwo optimistis tahun 2019 nanti peranan UMKM di Jatim terhadap PDRB akan naik dari 57 persen menjadi 58 persen.

Luar biasanya, dari 9,59 juta UMKM di Jatim, menampung 18,6 juta orang tenaga kerja.

Dari jumlah itu, lebih dari 94 persen ada di UMKM. Perusahaan besar di Jatim hanya menyerap tenaga kerja 1,83 persen, seiring dipakainya teknologi canggih dan bahkan ada yang memakai robot.

“Makanya, kalau PDRB 58 persen terwujud, Jatim akan menjadi raksasa ekonomi,” tandasnya.

Pakde Karwo menyatakan, saat ini, perdagangan Jatim dengan negara ASEAN sudah surplus 1,5 miliar dolar. Ini sesuai dengan langkah yang ditetapkan di rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD), yakni memenangkan pertarungan di ASEAN.

“Dan itu ternyata sudah berhasil. Semua ini berkat dukungan yang luar biasa dari seluruh masyarakat dan stakeholders yang ada di Jatim,” pungkasnya.

Bunga Rendah dan Tak Ribet

Lantas bagaimana tanggapan para pelaku UMKM di Jatim. Novita Rahayu, pemilik UKM V-RA Collection mengatakan, pihaknya mendukung penuh upaya perbankan meningkatkan perannya membantu pelaku UMKM melalui pemberian kredit lunak agar usaha lebih maju dan berkembang.

Terutama bagi pengusaha pemula, seperti dirinya yang butuh bantuan modal.

“Tapi bunganya kalau bisa harus seringan mungkin,” ujarnya, kepada Tribunjatim.com, Senin (13/8/2018).

Pentingnya bunga ringan, kata Vira, panggilan Novita Rahayu, agar pelaku UMKM tidak keberatan dan pembayaran selalu lancar dan tidak menunggak.  

Saat ini, dengan banyaknya tawaran kredit lunak dari perbankan untuk UMKM, para pelaku UMKM berusaha mencari pinjaman di bank yang bunganya paling rendah dan tanpa agunan.

Vira mencontohkan UKM V-RA Collection miliknya yang berada di wilayah Kenjeran, Surabaya dan bergerak di bidang konveksi dan perdagangan.

Untuk mengembangkan UMKM yang didirikannya pada 2016 lalu tersebut, dia pada tahun 2017 memilih mengajukan kredit sebesar Rp 15 juta dari program CSR PT Telkom bekerjasama dengan salah satu Bank BUMN, dengan suku bunga pinjaman 6 persen dan tanpa agunan.

Tambahan modal yang didapat tersebut lantas dipakai Vira belanja barang lebih banyak, lalu memproduksi serta menitipkannya ke berbagai tempat yang ada di Surabaya.

Hasilnya, omzet usaha langsung terkerek naik. Jika tahun 2017, rata-rata omzet per bulannya masih Rp 6-7 juta. Saat ini, omzetnya naik lebih 100 persen menjadi antara Rp 14-15 juta setiap bulan.

Selain itu, dirinya juga bisa membantu pemerintah untuk menciptakan lapangan pekerjaan, dengan mempekerjakan tiga orang.

“Jika nanti UKM saya terus berkembang, jumlah pekerja juga tentu akan saya tambah,” imbuhnya.

Untuk itu, kepada para pelaku UMKM lain, terutama yang belum memanfaatkan akses modal ke perbankan, Vira menyarankan untuk memanfaatkan kredit dari bank sebagai modal usaha. Asalkan kredit yang ditawarkan benar-benar lunak, tanpa agunan, dan cicilannya juga ringan.

Apalagi tahun 2018 ini, ada bank yang menawarkan program CSR untuk bantuan dan kredit lunak untuk UMKM dengan bunga hanya 3 persen saja, tanpa agunan untuk pinjaman modal antara Rp 5 juta sampai Rp 20 juta

“Pinjaman modal baru pakai agunan, seperti BPKB motor atau mobil jika pinjamannya diatas Rp 20 juta,” terangnya.

Hal senada disampaikan Kartini Hariasih, pemilik Gallery Kartini Bordir, UKM yang berada di Gayungsari, Surabaya.

Menurut Kartini, kredit lunak dari perbankan memang harus dimanfaatkan oleh pelaku UMKM yang ingin usahanya berkembang. Karena hal itu sangat membantu penambahan modal usaha.

“Tapi dana yang didapat harus benar-benar dimanfaatkan untuk hal yang sangat penting dan mendukung pengembangkan usaha. Jangan dipakai untuk konsumtif,” ucapnya.

Dia memberi contoh, saat awal dirinya mendapat kredit lunak Rp 5 juta dari bank, lalu pada tahap berikutnya nilai kredit naik jadi Rp 10 juta, Kartini memanfaatkan dana tersebut untuk membeli mesin bordir dan mesin potong yang lebih canggih, serta membeli bahan baku.

Selain itu, uangnya juga dipakai untuk memperbaiki tempat kerja agar lebih nyaman. “Pokoknya dana yang saya ambil sesuai peruntukan apa yang saya butuhkan,” imbuhnya.

Setelah sekitar delapan tahun, UKM bordir pembuatan tas, dompet, dan souvenir yang ditekuninya berkembang pesat. Jika sebelumnya, omzet usahanya rata-rata hanya Rp 10 juta per bulan, kini omzetnya naik menjadi antara Rp 45 juta sampai Rp 50 juta per bulan.

Hal itu berdampak pada jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan Kartini, dari enam orang menjadi 20 orang.

Ceruk pasar produknya juga makin luas, dari lokal dan regional Jatim menyebar ke seluruh wilayah di Indonesia. Terutama setelah cara pemasaran dan promosi secara online makin gencar dilakukan.

Kini, untuk mengembangkan usahanya, Kartini tetap mengandalkan kredit lunak sebesar Rp 20 juta dari perbankan dengan bunga 6 persen per tahun.

Suku bunga cukup ringan itu didapat, karena dirinya memanfaatkan program CSR dari PT Pelindo III yang pembayaran angsuran kreditnya melalui Bank Jatim.

“Makanya jika UMKM ingin berkembang bisa memanfaatkan program dana CSR dari BUMN maupun BUMD, kalau lewat pinjaman umum bunganya besar dan bisa memberatkan,” sarannya.

Denis Saraswati, pelaku UMKM di Kota Malang menambahkan. Menurut pemilik Zahra Kitchen ini sudah menjalankan usaha pembuatan kue ulang tahun sejak tahun 2010 ini, bantuan modal perbankan sangat diperlukan pelaku UMKM jika benar-benar ingin mengembangkan usaha dan meningkatkan produksi.

“Tapi ya itu, bunganya harus benar-benar ringan, kalau bisa hanya 5 persen saja dan syaratnya juga tak perlu ribet,” katanya.

Hal itu, lanjut alumni Alumni Universitas Negeri Malang (UM) ini, agar UMKM yang notabene usaha milik rakyat kecil tidak keberatan dalam membayar cicilan. 

“Jadi sama-sama enaknya, apalagi sekarang ini kan mencari lapangan pekerjaan sulit sekali,” tegasnya.

Denis mencontohkan usaha pembuatan kue ulang tahun yang ditekuninya dan dipasarkan secara online. Dengan omzet per bulan rata-rata berkisar antara Rp 7-10 juta, dirinya ingin lebih mengembangkan usaha melalui pinjaman lunak dari perbankan untuk tambahan modal.

“Makanya, kalau misalnya Bank Jatim atau Bank UMKM yang miliknya Pemprov membuat terobosan memberi pinjaman modal usaha dengan suku bunga super lunak dan lebih rendah dari bank lain, pasti akan banyak pelaku UMKM yang memanfaatkannya,” tandasnya.

Awas Gempuran BPD Lain

Anggota Komisi C Bidang Keuangan DPRD Jatim Anwar Sadad, Senin (13/8/2018) menjelaskan, pihaknya mengakui pertumbuhan dan perkembangan yang luar biasa sektor UMKM di Jatim, salah satunya karena peran serta sektor perbankan.

Ini terbukti, dengan terus didorongnya dua bank milik Pemprov Jatim, Bank Jatim dan Bank UMKM untuk benar-benar fokus dalam mengembangkan UMKM.

“Tahun 2017 misalnya, Bank Jatim kita beri dana sebesar Rp 400 miliar dari APBD untuk memberikan stimulant pengembangan UMKM. Sedangkan Bank UMKM kita support Rp 200 miliar untuk pengembangan UMKM, terutama menjalankan fungsi memberi kredit bagi petani (usaha pertanian),” ujarnya.

Politisi Partai Gerindra ini berharap, Bank Jatim dan Bank UMKM, yang positioning-nya pada wilayah ini, benar benar serius dalam mengembangkan UMKM, karena tantangan yang dihadapi saat ini cukup berat.

Terutama, setelah bank umum, bank milik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, baik bank BUMN maupun bank BUMD juga ikut bermain di sektor yang sama, yakni UMKM.

“Dan ingat, mereka juga menjadikan banyaknya UMKM di Jatim sebagai sasaran untuk pemberian dan pengucuran kredit lunak,” terangnya.

Bahkan, dua bank daerah, yakni PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat & Banten Tbk atau Bank BJB dan Bank DKI, kata Sadad saat ini massif dan gencar melakukan ekspansi ke Jatim, terutama di wilayah Surabaya dan Malang. Dengan menawarkan aturan yang lebih lentur dan mudah bagi calon debitur, dan bunga kredit yang jauh lebih rendah dari bank pemerintah lain.

“Jika kredit untuk UMKM dari Bank Jatim bunganya misalnya 7 sampai 9 persen, BJB suku bunganya lebih rendah dari itu,” beber Anggota DPRD Jatim tiga periode ini.

Untuk itu, dirinya minta Bank Jatim ke depan lebih fokus, serius, dan lentur aturan dalam memberikan kredit terhadap UMKM, yang di Jatim jumlahnya mencapai 9,57 juta, terbanyak dibandingkan provinsi lain di Indonesia.

Terlebih, UMKM merupakan lembaga usaha yang tidak membutuhkan modal besar dan cukup tahan banting dari terpaan krisis ekonomi.

“Itu karena mereka (UMKM) adalah usaha yang tumbuh dari bawah dan punya fundamen ekonomi yang lebih kokoh,” tegasnya.

Ke depan, harus ada satu kebijakan dari Pemprov Jatim selaku pemegang saham pengendali, agar proporsi kredit yang dikucurkan Bank Jatim benar-benar dimaksimalkan untuk kredit usaha.

“Tidak hanya bermain pada wilayah aman, misalnya pemberian kredit pada ASN dan pembayaraan (angsuran) melalui potong gaji,” imbuh Sadad.

Selain itu, Bank Jatim juga harus bisa menjadikan para pelaku UMKM di Jatim yang usahanya fisible dan belum tersentuh bantuan kredit lunak perbankan, lebih termotivasi untuk mengembangkan usaha, dengan melihat kepada kesuksesan UMKM yang menjadi binaan Bank Jatim.

“Succes story usaha dari nol sampai berkembang luar biasa itu sangat penting dan dapat menjadi pancingan yang cospleng bagi UMKM lain untuk memanfaatkan kredit lunak perbankan,” tegas Sadad.

Baru 40 Persen Manfaatkan

Sementara itu, Pengamat Ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga Surabaya, Dr Windijarto, Senin (13/8/2018) mengatakan, saat ini pelaku UMKM di Jatim yang memanfaatkan kredit dan jasa keuangan sektor perbankan masih rendah. Hal ini terkihat berdasarkan hasil penelitan yang dilakukannya terhadap UMKM yang ada Mojokerto dan Jombang.

“Persentasenya cuma 40 persen UMKM yang memanfaatkan perbankan,” tegasnya.

Menurut Windijarto, ada tiga hal yang menyebabkan banyaknya pelaku UMKM di Jatim belum memanfaatkan jasa keuangan sektor perbankan. Pertama, jaminan agunan. Kedua prosedur dengan harus menyampaikan proposal, ada audit, dan laporan keuangan. Ketiga, perizinan.

“Kendala utama tetap masalah jaminan,” tandasnya.

Untuk prosedur, para pelaku UMKM masih menilai prosedur untuk mendapatkan kredit lunak di bank masih ribet dan prosesnya lama. Sehingga banyak pelaku UMKM, terutama yang padat modal, memilih pinjam ke bank tithil jika butuh modal antara Rp 1 Juta hingga Rp 2 juta, karena langsung diberi pinjaman tanpa agunan, meski bunganya mencekik.  

“Kebanyakan mereka (UMKM) yang lari ke bank tithil itu karena tak mau ribet. Pinjam tanpa agunan dan langsung diberi serta bayarnya bisa mingguan,” imbuhnya.

Sedangkan terkait perizinan, fakta di lapangan, saat ini banyak UMKM yang belum memiliki izin. Sehingga tidak bisa pinjam uang ke bank. Karena syarat untuk mendapatkan dana dari perbankan, sebuah usaha harus punya izin.

Untuk itu, lanjut Windijarto, dengan jumlah UMKM di Jatim saat ini mencapai 9,59 juta, Bank Jatim sebagai bank BUMD milik Pemprov Jatim harus bisa membuat kebijakan baru yang sifatnya solutif dengan melihat permasalahan utama yang dihadapi pelaku UMKM di Jatim, terkait akses modal ke perbankan.

“Solusinya bisa dibuat modal seperti bank tithil untuk melayani mereka yang kecil, dengan skema khusus dan dananya misalnya diambilkan dari CSR. Tapi bunganya jangan seperti bank tithil yang mencekik. Saya kira OJK akan membolehkan. Asal jumlahnya tidak terlalu banyak, dan minta izin terlebih dahulu,” ucapnya.

Dengan pengawasan yang lebih diperketat, seperti pola yang dipakai bank tithil selama ini, Windijarto yakin solusi yang diusulkannya dapat dilaksanakan di lapangan.

“Selama ini, jarang ada bank tithil yang bangkrut,” pungkasnya. (Surya/Mujib Anwar)

Sumber: Tribun Jatim
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved