Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Bocah 11 Tahun di Blitar Hidupi 3 Keluarganya, Bapaknya Stroke, Ibunya Gangguan Jiwa

Mungkin tak hanya di kampungnya, namun di Kabupaten Blitar , barangkali kakek Saji, merupakan sebuah keluarga yang tergolong hidupnya susah.

Editor: Yoni Iskandar
Hanif Manshuri
warga miskin 

Selain berada di pekarangan belakang rumahnya, juga tak ada penutup apapun. Sehingga, itu bisa dilihat dari rumah tetangganya.

Bahkan, kalau malam, jangan dibayangkan, keluarga itu bisa menikmati acara televisi. Sebab, jangan televisi, radio atau barang elektronik lainnya saja tak ada sama sekali. Jadi, kalau kepingin lihat televisi, seperti Innayah atau Joko, ya harus numpang ke rumah tetangganya.

Selama ditemui di rumahnya, kakek Saji hanya bisa duduk di tempat tidurnya. Sebab, jangankan gerak, sekadar buat bicara saja susah dan tak jelas apa yang diomongkannya.

"Saya sudah nggak bisa apa-apa. Ya, hanya bisa duduk seperti ini. Mau berobat, ya nggak punya uang. Sejak sakit, ya tak pernah ke rumah sakit," tuturnya dengan tak jelas lafadnya.

Jangankan buat berobat, papar dia, wong buat makan sehari-sehari saja tak ada. Kadang, ya diberi tetangga atau dapat jatah beras raskin. Karena kondisinya seperti itu, akhirnya, Joko, tak bisa melanjutkan sekolah alias drop out dan kini ia mencari barang bekas atau rongsokan, buat menghidupi keluarga. Namun, itu masih tak cukup karena penghasilannya sangat minim. Katanya, rata-rata sehari hanya dapat Rp 3.000.

"Itu karena hanya dapat botol bekas air mineral. Itu pun, hanya cukup buat beli bumbu dapur," ungkapnya.

Untungnya, kakaknya, Innayah, anaknya pintar dan selalu rangking satu di kelasnya, yakni kelas 3 Madrasah Tsanawiyah (MTs) Tawangsari. Karena itu, ia bisa sekolah karena mendapat bea siswa dari sekolahnya tersebut.

"SPP-nya gratis karena selalu rangking satu," tutur Ny Ponisri (42), tetangganya.

Menurut Ponisri, kalau sekedar makan, para tetangganya sangat peduli karena tak tega melihat kondisi keluarga tersebut. Meski Sri Utami dan Surip itu secara fisik, sehat namun karena mengalami gangguan jiwa, ya tak bisa diharapkan. Sebab, setiap hari, mereka hampir keluyuran ke kampung-kampung dan baru sore hari, pulang kembali.

Meski ibunya dan budenya, mengalami gangguan jiwa, dan bapaknya sakit stroke, namun untungnya Innayah tak sampai minder. Ia tetap bersemgat dalam hidupnya. Bahkan, sepulang dari sekolah, ia masih sempat membantu adiknya, mencari barang bekas, dengan berkeliling kampung.

"Kalau sore, ia juga masih menggaji di musala, dan malamnya tetap semangat belajar. Ia tetap ceria seperti anak-anak seusianya, dan kadang sesekali terlihat bermain ke rumah tetangganya," ungkap Ponisri.

Sementara, Mujito, Lurah Tawangsari menuturkan, dirinya sangat prihatin melihat keadaan keluarga kakek Saji. Namun, ia mengaku tak bisa membantu banyak dan hanya sesekali membantu dari uang pribadinya.

"Saya sudah berkali-kali mengajukan buat bedah rumahnya namun belum terealisasi. Kami kasihan melihat kondisi rumahnya yang hampir ambruk namun tetap ditempati," paparnya.

Dipastikan, rumah itu, tak hanya membahayakan untuk ditempati, namun juga banyak yang bocor saat musim hujan. Ia tak bisa membayangkan, bagaimana kalau hujan malam hari, pasti mereka panik, untuk menghindari reruntuhan air hujan.
Bahkan, yang memprihatinkan, gedek belakang rumahnya, sudah tak rusak dan kini hanya ditutup dengan kain spanduk. Padahal, di belakang rumahnya, kondisinya banyak tumbuhan liar sehingga dikhawatirkan ada hewan ganas seperti ular masuk ke dalam rumahnya.

" Memang kondisi rumahnya sudah tidak layak dan membahayakan untuk di tempati. Namun, gimana lagi kami sudah memperjuangkan agar ada uluran tangan dari berbagai pihak," ujarnya.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved