Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Kisah Karsi Nerro, Peraih Kalpataru Berkat Hutan Telaga Buret Tulungagung

Hutan Telaga Buret di Kabupaten Tulungagung mengantarkan Karsi Nerro meraih penghargaan Kalpataru.

Penulis: David Yohanes | Editor: Mujib Anwar
SURYA/DAVID YOHANES
Karsi Nerro Soethamrin dengan piala Kalpataru yang baru diterimanya dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 

TRIBUNJATIM.COM, TULUNGAGUNG - Karsi Nerro Soethamrin (44) tengah menyapu jalan paving menuju Telaga Buret, di Desa Sawo, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung, saat ditemui Minggu (2/9/2018).

Musim angin telah merontokkan dedaunan pohon hutan di sekitar telaga, dan menutupi akses pejalan kaki.

Senyumnya langsung mengembang saat ditanya piala Kalpataru yang baru diterimanya dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Ada di rumah, tidak saya bawa ke sini,” ucapnya sambil tertawa lebar.

Beberapa teman yang datang kemudian meminta Karsi mengambil piala itu dan membawanya ke Telaga Buret.

Mewakili Habitat Masyarakat Peduli Alam Raya (Hampar), Karsi memang baru saja menerima penghargaan Kalapataru, dalam kategori penyelamat lingkungan.

Sebelumnya, Karsi dan kawan-kawan pernah masuk nominasi pada tahun 2015.

“Sebenarnya kami juga ogah-ogahan ikut penilaian, karena prosesnya sangat administratif dan melelahkan. Tapi kawan-kawan siap all out dan ini hasilnya,” katanya.

Hampar mengelola hutan di sekitar Telaga Buret seluas 22,8 hektar.

Tahun 1990-an hutan di Telaga Buret hancur akibat pembalakan liar yang tak terkendali.

Pohon besar yang tersisa bisa dihitung, hewan-hewan juga mulai punah karena diburu.

Melihat kehancuran itu, Karsi mulai bergerap pada tahun 1998 bersama dua temannya.

Mereka mulai menanam pohon secara massif di sekitar Telaga Buret.

“Yang penting menyadarkan masyarakat sekitar agar jangan membalak lagi. Pemilihan hutan mustahil terwujud tanpa kesadaran masyarakat,” tutur Karsi.

Karsi dan kawan-kawan juga harus berhadapan para penambang batu kapur.

Berkat usaha yang sungguh-sungguh dan tanpa lelah, tahun 1999 Perhutani mepercayakan pengelolaan hutan seluas 1,9 hektar di sekitar Telaga Buret kepada Karsi dan kawan-kawan.

Pada tahun 2000 luas area hutan yang dipercayakan menjadi 3 hektar. Warga pun mulai merasakan hasilnya.

Puncaknya tahun 2002, empat kepala desa di sekitar Telaga Buret membuat ikrar bersama untuk menjaga kelastariannya.

Desa-desa itu adalah Desa Sawo, Gedangan, Gamping dan Ngentrong, semuanya di Kecamatan Campurdarat.

“Siapa saja yang mengganggu kelestatian Telaga Buret akan mendapatkan sanksi,” tegasnya.

Berkah hutan yang kembali lestari kini dinikmati para petani di empat desa ini.

Sawah-sawah mereka selalu terairi dengan baik berkait air dari Telaga Buret.

Bahkan di saat musim kemarau sekalipun, petani tidak pernah kekurangan air.

Padahal sawah-sawah mereka tidak terhubung dengan sistem irigasi modern yang dibangun pemerintah.

Sebuah pintu air kecil dibangun Dinas Pekerjaan Umum Pengairan tidak jauh dari Telaga Buret.

Pintu kanan untuk sawah Desa Gedangan, pintu tengah untuk Desa Gamping dan Sawo, dan pintu kiri untuk sawah Desa Ngentrong.

“Jadi memang sepenuhnya mengandalkan air dari Telaga Buret, hulu sistem irigasinya ada di Buret. Tidak ada saluran yang terhubung dengan sistem irigasi lain,” tutur Karsi.

Pada tahun 2015 saat masuk nominasi Kalpataru, luas lahan pertanian yang terairi seluas 400 hektar.

Tahun 2017 luas area sawah yang bisa terairi dari Telaga Buret mencapai 700 hektar.

Berkat pencapaian ini, Karsi dan kawan-kawan yang bergabung dalam Hampar diganjar penghargaan Kalpataru pada Kamis (30/8/2018) di Bitung, Sulawesi Utara. (David Yohanes)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved