Tergencet Dolar, Pengrajin Tempe dan Tahu di Sidoarjo Kompak Bersiasat Agar Pelanggan Tak Kabur
Pengrajin tempe dan tahu di Sidoarjo kompak bersiasat agar pelanggan tak kabur, saat dolar terus menggencet.
Penulis: M Taufik | Editor: Mujib Anwar
"China adalah pengimpor kedelai terbesar dunia. Dengan pembatalan pesanan kedelai China dari Amerika, tentu volume kedelai melimpah dan berimbas pada turunnya harga," urai pria yang juga perajin tahu tempe di Sepande tersebut.
Namun seiring melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar, harga kedelai di pasaran tetap saja naik. Hanya saja, kenaikan harga tidak terlalu signifikan karena secara global harga kedelai sedang turun.
Jika harga kedelai tidak turun dan nilai tukar rupiah melemah, harga kedelai di pasaran Indonesia diperkirakan sekarang ini bisa di atas Rp 8.000 perkilogramnya.
"Tapi karena kondisi itu tadi, kenaikan harga kedelai masih terjangkau oleh perajin tahu dan tempe. Memang naik, tapi tidak terlalu signifikan," tandasnya.
Diungkapkannya, sekarang ini harga kedelai di tingkat importir retail paling mahal Rp 7.150 perkilo. Itu merek paling bagus. Sedangkan merek lainnya, di angka Rp 7.100 dan Rp 7.050 per kilogram.
Di tingkat eceran, harga kedelai dijual sekitar Rp 7.500 perkilogram. "Cukup lumayan, karena sebelumnya di kisaran Rp 6.800 perkilogram," tukasnya.
Melihat itu, pihaknya juga maklum jika perajin memilih mengurangi volume tahu atau tempe produksinya. Sebagai upaya menahan gencetan dolar terhadap usaha yang mereka jalankan. (M Taufik)