Tanpa Kehadiran Bupati, Jamasan Pusaka Tombak Kanjeng Kyai Upas Terasa Hambar
Pencucian atau jamasan Pusaka Tombak Kanjeng Kyai Upas terasa hambar, tanpa kehadiran sang Bupati.
Penulis: David Yohanes | Editor: Mujib Anwar
Usai seluruh prosesi, masyarakat kemudian memperebutkan sisa air jamasan.
Air dari sembilan sumber ini dipercaya mempunyai khasiat, karena dibacakan doa-doa.
• Pesan Pakde Karwo ke TribunJatim Network: Jadilah Rujukan Berita Politik Terpercaya dan Brantas Hoax
Pendik misalnya, ia percaya sisa air di gentong untuk jamasan ini bisa membuat lancar usaha.
"Tinggal kepercayaannya saja, kalau percaya pasti akan terwujud," ujarnya.
Sejarah Tombak
Menurut sejarah tutur yang terpelihara selama ini, tombak Kyai Upas dulunya adalah pusaka Ki Ageng Mangir Wanabaya, atau Mangir IV.
Kisah Ki Ageng Mangir pernah ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dalam sebuah naskah drama berjudul Mangir.
Ki Ageng Mangir adalah penguasa wilayah perdikan di era Majapahit, yang kemudian masuk ke wilayah Mataram.
Raja Mataram kala itu, Penembahan Senopati berusaha menakhlukan Mangir.
• Istrinya Asyik Nonton Televisi, Bapak di Blitar ini Gauli Putri Kandungnya Hingga 10 Kali
Namun karena kesaktiannya dan berkat pusaka Kyai Upas, Mangir tidak terkalahkan.
Akhirnya raja mengirim anaknya, Retno Pembayun untuk memperdaya Mangir.
Retno Pembayun yang menyamar jadi penari tledek berhasil memikat hati Mangir.
Keduanya kemudian menikah. Seiring perjalanan waktu, Pembayun mengungkap jati dirinya sebagai anak raja.
Ia kemudian mengajak Mangir untuk menghadap ayahandanya, yang juga seorang raja Mataram.
Saat hendak sowan mertua inilah, Mangir harus meninggalkan tombak Kyai Upas.
Sebab tradisi ketika menghadap raja, tidak boleh membawa senjata.
Saat tanpa senjata itulah Mangir dibunuh. Namun sepeninggal Mangir, tombaknya menimbulkan pagebluk (wabah penyakit).
Untuk menghentikan pagebluk, tombak pusaka ini dibawa ke Kadipaten Ngrowo, yang sekarang menjadi Kabupaten Tulungagung. (David Yohanes)