Banyak Dampak Buruk Terjadi, Fatma Saifullah Yusuf Kampanyekan Pencegahan Pernikahan Usia Anak
Banyak Dampak Buruk Terjadi, Istri Wagub Jatim Fatma Saifullah Yusuf Kampanyekan Pencegahan Pernikahan Usia Anak.
Penulis: Sofyan Arif Candra Sakti | Editor: Mujib Anwar
Laporan Wartawan TribunJatim.com, Sofyan Arif Candra Sakti
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Istri Wakil Gubernur Jatim, Fatma Saifullah Yusuf, menjadi keynote speaker dalam Dialog Publik dalam rangka Hari Anak Sedunia dengan tema “Perkawinan Anak: Pencegahan dan Dampak” di Hotel Vasa, Jalan HR Muhammad, Surabaya Kamis (22/11/2018).
Dalam kesempatan itu, Fatma mengajak masyarakat untuk berperan aktif mencegah terjadinya pernikahan usia anak alias usia dini, baik di keluarga maupun lingkungan sekitar.
Langkah ini penting dilakukan karena pernikahan usia anak dapat membawa dampak yang kurang baik terutama bagi pasangan tersebut.
Berbagai dampak seperti putus sekolah, instabilitas di dalam membangun keluarga, sampai terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) akan terjadi dengan adanya pernikahan usia dini.
• Paparkan 4 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK, Menristek Dikti Kumpulkan Kampus PTN dan PTS di Unair
Lebih dari itu, dari sisi ekonomi, pernikahan anak sering kali menimbulkan adanya siklus kemiskinan yang baru.
Sedangkan dari sisi sosial, pernikahan anak juga berdampak pada potensi perceraian dan perselingkuhan di kalangan pasangan muda yang baru menikah.
Hal ini dikarenakan emosi yang masih belum stabil sehingga mudah terjadi pertengkaran dalam menghadapi masalah kecil sekalipun.
Sementara dari sisi psikologis, pasangan secara mental belum siap menghadapi perubahan peran dan menghadapi masalah rumah tangga sehingga seringkali menimbulkan penyesalan akan kehilangan masa sekolah dan remaja.
“Selain itu dari sisi kesehatan, menikah muda beresiko tidak siap melahirkan dan merawat anak. Bahayanya bila mereka melakukan aborsi yang tidak aman, dapat membahayakan keselamatan bayi dan ibunya sampai pada kematian,” kata Fatma.
• Remaja Pesta Miras di Kamar Kos Kota Kediri Dijemput Orangtuanya dan Inilah yang Akhirnya Terjadi
Menurutnya, secara umum pernikahan usia anak telah banyak berkurang di berbagai negara dalam tiga puluh tahun terakhir.
Namun, pada kenyataanya masih banyak terjadi di negara berkembang termasuk di Indonesia. Pernikahan usia anak terjadi baik di pedesaan maupun perkotaan serta meliputi berbagai strata ekonomi dengan beragam latar belakang.
Di Jatim sendiri, lanjutnya, persentase perempuan yang menikah pada usia kurang dari 17 tahun pada tahun 2016 tertinggi terjadi di Kab. Bondowoso (50,20%), Kab. Situbondo (43,79%), Kab. Probolinggo (41,18%), Kab. Sampang (35,37%), dan Kab. Sumenep (33,87%). “Lima kabupaten tertinggi inilah yang harus menjadi perhatian kita semua,” katanya.
Lebih lanjut menurutnya, beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pernikahan usia anak diantaranya adalah faktor pendidikan, faktor ekonomi (kemiskinan), faktor budaya (tradisi/adat), dan perjodohan.
• Dipasok Data Banyak Pihak, Akun Penyebar Kebencian ke Para Pejabat Pakai Akun Penyandang Disabilitas
Dalam faktor pendidikan, kurangnya pendidikan kesehatan reproduksi menyebabkan remaja mencoba melakukan aktivitas seksual di masa berpacaran dengan pasangannya sehingga menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan.
Sementara faktor kemiskinan terjadi karena perjodohan ataupun putus sekolah karena tidak memilki biaya untuk pendidikan.
“Sebagian besar ini terjadi di keluarga petani dan nelayan. Di kelompok tersebut menikahkan anak untuk mengurangi beban ekonomi keluarga. Di samping itu, menikahkan anak dianggap sebagai pembayar hutang keluarga,” kata Ketua Umum Badan Kerjasama Organisasi Wanita (BKOW) Provinsi Jatim tersebut.
Sedangkan untuk faktor adat, informasi kesehatan reproduksi masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu, porno, dan dosa.
Hal ini menyebabkan anak tidak mengerti kesehatan reproduksi sehingga ingin coba-coba dan mencari tahu sendiri dari media lain seperti internet dan menonton video porno.
• Dengar Kumandang Suara Azan, Probo Sutejo Pria Asal Tulungagung ini Langsung Salat di Atas Pohon
Selain itu, ada juga pemahaman dari salah satu etnis di Jatim yakni Etnis Madura, bahwa sudah menjadi tradisi perjodohan sejak kecil, dan ketika sudah dianggap akhil baliq,mereka dinikahkan.
“Biasanya orang tua sangat dominan dan takut menolak lamaran karena akan mempersulit jodoh sang anak kelak. Selain itu, bila belum menikah sebelum umur 18 tahun akan menjadi pergunjingan di masyarakat,” jelasnya.
Untuk itu, Pemprov Jatim melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Kependudukan (DP3AK) melakukan berbagai upaya untuk mencegah pernikahan usia anak.
Antara lain, pembinaan pada Bina Keluarga, pembentukan dan pembinaan Forum Anak Nasional (FAN), sosialisasi tentang perlindungan anak pada kelompok remaja, orang tua dan masyarakat, serta kampanye stop pernikahan anak dengan melibatkan forum anak dan kelompok remaja yang ada di kabupaten/kota.
Ke depan, Fatma berharap pernikahan usia anak dapat terus ditekan terutama di Jatim. Ia juga berharap ada peningkatan pengetahuan atau pemahaman tentang pernikahan anak baik pada remaja, orang tua, dan masyarakat. “Mari kita semua melakukan kampanye stop pernikahan anak,” tegasnya.
Sementara itu, Plt. Deputi Partisipasi Masyarakat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ir. Agustina Erni, M.Sc mengatakan, penyelesaian kasus pernikahan usia anak harus dilakukan dengan multi disiplin, multi sektor, dan tidak hanya melibatkan satu kementerian saja.
Pencegahan pernikahan usia anak harus dilakukan dengan berbagai upaya pencegahan diantaranya bermitra dengan media jaringan peduli anak.
“Peran media sangat penting, karena media membantu menyampaikan informasi ini kepada lapisan masyarakat mulai bawah sampai atas. Kami juga bekerjasama jaringan radio komunitas karena masuk dalam tataran masyarakat di paling bawah,” jelasnya.
Menurutnya, penyelesaian masalah perkawinan anak membutuhkan peran banyak pihak. Alasannya, pernikahan usia anak menggambarkan adanya masalah yang terjadi baik di orang tua, anak itu sendiri, maupun di komunitasnya.
“Sehingga solusinya harus ada intervensi di anak dulu kemudian keluarga dan komunitas. Ini harus dilakukan bersamaan,” pungkasnya.
Dialog publik ini diselenggarakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI bekerjasama dengan Jawa Pos. Beberapa narasumber yang hadir diantaranya Hikmah Bafaqih (Ketua Fatayat NU Jatim) dan Siti Yunia Mazdafiah (psikolog dari Universitas Surabaya dan Ketua Savy Amira WCC).