Senior PDIP Luwih Soepomo Meninggal Dunia, Pernah Jadi Saksi Perjuangan Partai di Era Orde Baru
Senior PDIP yang juga merupakan tokoh nasionalis Luwih Soepomo meninggal dunia Kamis (27/12/2018) pukul 04.00 WIB.
Penulis: Sofyan Arif Candra Sakti | Editor: Januar
Laporan Wartawan TribunJatim.com, Sofyan Arif Candra Sakti
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Berita duka datang dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Senior PDIP yang juga merupakan tokoh nasionalis Luwih Soepomo meninggal dunia Kamis (27/12/2018) pukul 04.00 WIB.
Soepomo merupakan tokoh senior Gerakan Pemuda Marhaen, dan merupakan Anggota DPRD Jatim 1999-2004 dan Anggota DPR-RI 2004-2009.
Soepomo juga merupakan satu di antara tokoh yang paling depan mempertahankan posko PDI Pro Megawati saat peristiwa kekerasan 27 Juli 1996, atau yang dikenal dengan peristiwa Kuda Tuli.
Kepada TribunJatim.com Soepomo pernah menceritakan, bahwa Posko Pandegiling menjadi awal dari perjuangan panjang PDI Pro Megawati, di bawah komando Ir Sutjipto, mantan Sekjen DPP PDI Perjuangan.
• Jokowi-Maruf Kalah di Madura Versi Survei, PDIP Jatim Sebut Jagoannya Lebih Cocok secara Kultur
“Posko Pandegiling menjadi tetenger, bahwa PDI Perjuangan didirikan dengan keringat, darah dan air mata. Bukan sekedar akta notaris. PDI Perjuangan didirikan dengan banyak pengorbanan. Pewarisan sejarah inilah yang kami lakukan tiada henti, pada para generasi penerus,” kata Supomo saat itu.
Dimulai 1996, Posko itu menjadi tempat berkumpulnya massa, tempat koordinasi dan konsolidasi, sekaligus tempat Pak Tjip (panggilan Ir Sutjipto) menjalankan bisnis konstruksi di jaman Orde Baru.
Berdirinya Posko Pandegiling dipicu oleh terjadinya Kongres PDI dari faksi Soerjadi, Buttu Hutapea, Fatimah Ahmad dan Latief Pudjosskti, di Medan, April 1996.
Tujuan kongres, mendongkel Megawati Soekarnoputri dari Ketua Umum DPP PDI Megawati Soekarnoputri.
Pemerintahan Orde Baru disebut santer mensponsori, melindungi dan memfasilitasi Kongres.
“Waktu itu belum berubah nama menjadi PDI Perjuangan. Perubahan itu baru dilakukan awal 1999, agar barisan PDI Pro Megawati, di seluruh tanah air, bisa mengikuti Pemilu 1999,” kata Supomo.
Megawati, putri Bung Karno itu, terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI, tahun 1993, dalam Kongres Luar Biasa di Asrama Haji, Sukolilo, Kota Surabaya.
“Kongres Soerjadi Cs di Medan, telah membakar kemarahan warga PDI yang setia pada Ibu Megawati. Masyarakat umum pun banyak yang ikut membela dan terlibat,” kata Supomo.
Hampir tiap hari, katanya, terjadi demonstrasi besar-besaran PDI Pro Mega di Kota Surabaya dan berbagai daerah di Jawa Timur dan tanah air.
“Massa yang setia pada Ibu Megawati terus bertambah, makin besar dan bergelombang. Saat itu, kami disebut PDI Pro Mega atau Promeg. Nama ini menjadi pembeda dengan PDI Soerjadi,” kata Soepomo.
Di Kota Surabaya dan Jawa Timur, kata dia, pusat pergerakan PDI Pro Mega terletak di Posko Pandegiling.
“Yang memimpin Pak Tjip, Ketua DPD PDI Jawa Timur,” kata Soepomo.
Soepomo sendiri saat itu masih muda. Ia menjadi salah satu tokoh di Posko Pandegiling.
“Hampir tiap hari terjadi mimbar bebas. Ada massa. Ada orasi. Ada dapur umum,” kata Soepomo, yang juga mantan Ketua GPM (Gerakan Pemuda Marhaen) Kota Surabaya.
Masa-masa itu, dikenang Soepomo sebagai fase sulit nan panjang, yang menggembleng PDI Pro Mega.
Karena mereka hidup di bawah pengawasan dan tekanan keras militer dan birokrasi.
“Banyak teman ditangkapi, dipukul dan disiksa. Jika di Jakarta pecah Tragedi 27 Juli 1996 (Kudatuli), yang menelan banyak korban, di Kota Surabaya terjadi, Minggu 28 Juli 1996. Banyak korban ditangkap dan dipukuli,” kata Soepomo.
Soepomo sendiri sempat kena pukulan hingga telinganya berdarah dan pendengarannya menurun.
Di Posko Pandegiling pula, para eksponen dan warga PDI Pro Megawati melakukan cap jempol darah yang terjadi tahun 1996 dan 1999.
Kemudian, berlangsung lagi tahun 2004, saat Pemilihan Presiden.