Manfaatkan Plat Bekas, Pria Blitar Pasarkan Gamelan Mainan Hingga Jepang dan Prancis
Rintis usaha sejak 1989, Pengrajin Saron dan Demung Mainan dari Plat Bekas asal Blitar sukses mempekerjakan banyak orang
Penulis: Imam Taufiq | Editor: Anugrah Fitra Nurani
TRIBUNJATIM.COM - Di tangan orang-orang kreatif, tak ada barang limbah, yang tak bisa dimanfaatkan.
Contohnya Saji (60), dan istrinya, Yati (55), pengrajin Saron dan Demung mainan buat anak-anak atau lebih dikenal dengan sebutan Ningnong.
Karena keuletannya jalankan usaha sejak 1989, kini Saji dan keluarganya, yang tinggal di Dusun Krajan RT 01/RW 03, Desa Mbumirejo, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar, tinggal menikmati hasilnya.
Bagaimana tidak, omsetnya kini sudah mencapai puluhan juta per bulan. Bahkan, kini produksinya sudah dikenal di pasaran luar negeri, seperti Australia, Perancis, Jepang, dll.
(Klasemen Liga Inggris Pekan 25: Man City Gusur Tottenham Hotspur, MU Lanjutkan Laga Tanpa Kalah)
(Vanessa Angel Terancam 6 Tahun Penjara, Bibi Ceritakan Sang Kekasih Sempat Curhat Ingin Bunuh Diri)
Meski hari masih pagi, langit pun tampak mendung pada Sabtu (2/2/2019), namun Saji dan anak-anaknya sudah mulai sibuk.
Di rumahnya, yang terletak paling ujung dusun, Saji sudah menjalani kegiatannya sebagai pengrajin Ningnong--sebutan Saron dan Demung mainan anak-anak itu.
Rumah dia memang agak jauh dari jalan raya (jurusan Malang-Blitar). Bahkan, dari Terminal Kesamben, itu berjarak sekitar 12 km.
Namun demikian, tak sulit mencari rumahnya karena semua orang di sepanjang jalan yang menuju ke rumahnya, sudah mengenal Pak Saji, si pengrajin Ningnong atau Saron dan Demung mainan anak-anak.
Begitu Surya sampai di rumah Saji sekitar 09.00 WIB, para karyawannya sudah sibuk mengerjakan alat musik ini.
Ada yang memotong-motong plat, ada yang menggergaji kayu untuk dibentuk jadi kotak Saron, dan Demung, ada yang mengecat.
Bahkan, ada yang mengepak barang (Saron dan Demung), untuk persiapan dikirim ke daerah tujuan pembeli.
(TRIBUN WIKI: Lima Trik Lolos dari Incaran Jambret)
Meski berada di desa pinggiran, melihat kesibukan mereka, bisa ditebak kalau ekonomi desa itu bergerak karena ada usaha kerajinan milik Saji tersebut.
Karyawan Saji tak hanya para tetangganya sendiri, ada juga yang berasal dari kecamatan lain. Itu belum termasuk anak-anaknya, yang ikut membantunya.
"Ini lagi menyiapkan barang, yang akan dikirim ke Jogja. ada 45 kodi atau 900 buah Saron dan Demun. Di Jogja itu, baru lima tahun jadi lengganan kami. Yang paling lama itu, kirim ke Bali. Itu sudah 25 tahun, jadi langganan kami," tutur Saji.
Katanya, usaha itu dirintis tahun 1988, mulai nol atau dari tak punya apa-apa. Saji saat itu merupakan pemukul Saron, yang tergabung pada kesenian grup Tayub di desanya.
Karena Tayub itu mainnya hanya malam hari, dirinya lebih banyak menganggur di siang hari.
"Pikiran saya saat itu ke usaha membuat Saron karena saya sendiri sebagai pemukul Saron. Saat itu harganya Saron mahal (Rp 1 juta per stel) sehingga tak semua orang bisa beli. Karena itu, anak-anak tak ada yang bisa memainkannya karena jarang orang yang punya Saron buat belajar," papar bapak empat anak itu.
Akhirnya, usaha membuat Saron dan Demung mainan anak-anak itu mulai digeluti.
Awalnya, ia memproduksinya, dari seng atau plat yang biasa dipakai sebagai talang di rumah. Sehari, saat itu ia bisa membuat sebanyak 10 buah Saron dan Demun.
"Kalau pagi, kami jual ke pasar. Pasarnya pun tak tentu, tergantung hari pasaran. Misalnya, kalau pasaran Pahing, itu saya jual ke Pasar Dusun Cungkup (berjarak 4 km dari rumahnya). Kalau pasaran Legi, kami jual ke Pasar Desa Nyawangan berjarak 5 km dari rumahnya," ungkapnya.
(Vanessa Angel Terancam 6 Tahun Penjara, Bibi Ceritakan Sang Kekasih Sempat Curhat Ingin Bunuh Diri)
(Berita Terpopuler: Al Ghazali-Dul Jaelani Menangis Saat Konser Dewa 19 hingga Ekspresi Putri Ahok)
Saji pun rela memikul 40 Saron dan demung mininya sambil berjalan kaki. Dia membandrol Harga Rp 250 rupiah per buah saat itu.
"Nah, kalau nggak habis, saya nggak langsung pulang, namun saya bawa keliling kampung. Lama kelamaan, saya dikenal sebagai pengraajin Ningnong sehingga banyak orang membeli, untuk dijual lagi. Ada yang dijual di pasar atau di rumah, juga ada yang dijual keliling seperti saya," paparnya.
Karena sudah punya banyak pelanggan itu, sekitar tahun 1999, Saji berhenti berkeliling untuk berjualan ke pasar. Ia hanya kosentrasi memproduksi saja di rumahnya.
Semakin banyak orang yang mengambil produksinya, ia mulai kesulitan bahan, mengingat bahan seng talang harganya tak sebanding dengan hasilnya.
Di saat kesulitan bahan itu, Saji dapat ide dari kawannya untuk menggunakan limbah plat bekas yang banyak dijual di Surabaya.
(Klasemen Liga Inggris Pekan 25: Man City Gusur Tottenham Hotspur, MU Lanjutkan Laga Tanpa Kalah)
Di tahun 1999, satu kuintal plat bekas dibandrol Rp 7,500. Kini harganya bisa mencapai Rp 700 ribu per kuintal.
"Plat bekas itu kan panjang, sehingga harus kami potong-potong lagi, sesuai dengan ukuran Saron atau Demung. Ukurannya bervariasi, ada yang 2 cm, ada 3 cm, ada yang 4 cm, dan 5 cm. Setelah terbentuk platnya, baru kami membuat kotaknya, yang juga dari kayu bekas. Yakni, bekas kotak palet juga. Jadi, kami beli kotaknya dan platnya, sehibgga tak ada yang terbuang," tutunya.
Setelah terpasang, tambah dia, plat yang sudah terbentuk sesuai ukuran Saron, dan Demung itu, dicat agar mirip kuningan.
Bagian kayunya dicat sesua daerah pemesanannya.
Bila pemesannya dari Bali, Saji akan cat kayunya dengan variasi hitam khas Bali.
Bila pemesannya orang Jogja, bagian kayu akan idicat dengan motif seperti ukiran.
"Harga Saron dan Demung, kalau dulu Rp 250 rupiah, sekarang Rp 8.000 per buah. Dan, kini bisa menghasilkan sebanyak 200 buah Saron dan Demung per hari," paparnya.
Saji mengaku kini tak ada kesulitan mendapat bahan baku karena sudah punya langganan di Surabaya. Rata-rata per minggu, dirinya bisa menghabiskan 2 kuintal plat bekas.
(Kunjungi Trenggalek, Menteri Susi Pudjiastuti Puji Pantai Prigi Sebagai Pelabuhan Alam Tercantik)
Selain dipasarkan lewat online oleh anaknya, Saji juga sudah punya banyak pelanggan tetap.
Yang rutin jadi pelanggan berasal dari Jogja, dan Bali. Sedang pelanggan lainnya, juga ada yang dari Batu (Malang), Semarang, Surabaya, dll.
Pelanggan dari Bali bahkan kerap kembali memasarkannya ke ranah global.
"Dari yang nyetok di Bali itu, dijual ke turis. Katanya, itu jadi souvenir dan kini malah pembeli luar negeri itu ikut memasarkan di negaranya," papar dia.
Dari permintaan yang banyak itu, usaha Saji kian moncer. Itu dibuktikan dari produksi yang terjual atau sekitar 100 kodi. belum termasuk pasaran lokal.
Karena omsetnya kian melonjak itu, akhirnya usahanya itu bisa mengubah nasibnya.
"Kami bersyukur karena punya usaha yang bisa kami wariskan ke anak cucu kami. Pesan kami pada anak-anak, kalian harus ulet dalam berusaha supaya mendapatkan hasil, seperti ayahmu ini," paparnya.
(Bukan Ala Princess, Syahrini Bocorkan Konsep Pernikahan Impiannya dan Singgung Soal Calon Suami)
(Klasemen Liga Inggris Pekan 25: Man City Gusur Tottenham Hotspur, MU Lanjutkan Laga Tanpa Kalah)