Memohon Hujan, Warga Tiudan Tulungagung Saling Pecut dalam Tradisi Tiban
Warga Desa Tiudan, Kecamatan Gondang, Tulungagung berkumpul menonton dua orang saling pecut pada Minggu (27/10/2019).
Penulis: David Yohanes | Editor: Anugrah Fitra Nurani
TRIBUNJATIM.COM, TULUNGAGUNG - Warga Desa Tiudan, Kecamatan Gondang, Tulungagung berkumpul menonton dua orang saling pecut pada Minggu (27/10/2019).
Suasana makin semarak dengan suara gendang ditimpali bunyi kentongan menyemangati dua ksatria ini Ritual Tiban Ini.
Sesekali suara lecutan cemeti lidi aren terdengar dari dua orang pemain tiban yang saling memecut di tengah arena.
Tiban adalah kesenian tradisional Jawa Timur, khususnya Tulungagung, Trenggalek, Blitar dan Kediri.
(Mengintip Tradisi Jamasan di Mojokerto, 10 Keris Kerajaan Jawa Dimandikan Air Kembang Tujuh Rupa)
Tiban digelar setiap kali kemarau panjang, dengan tujuan mengharap datangnya hujan.
Bersenjatakan cemeti lidi aren, dua pemain tiban saling memecut bergantian. Setiap pemain mendapat kesempatan memecut lawat sebanyak tiga kali.
Aturannya sederhara, tidak boleh memecut lawan di bagian leher ke atas.
Arena tiban kali ini lebih banyak menjadi ajang para pemain senior, yang usianya di atas 40 tahun.
Sayangnya pemain yang dianggap muda kurang mendapat panggung.
Salah satu pemain muda yang ikut serta adalah Imam Mukti (35), warga Desa Tiudan yang akrab dipanggil Grandong.
Sambil tersenyum Grandong menunjukkan sejumlah luka akibat pecuran lidi aren di punggungnya.
“Empat kali saya turun, masing-masing lawannya beda. Ini hasilnya,” ucapnya sambil membalikkan badan menunjukkan sejumlah bekas luka.
(Tradisi Sedekah Laut ala Warga Sidomulyo Tuban, Nelayan Arak Bekakak Miniatur Perahu di Jalan Raya)
Menurut seorang pemain Tiban yang akrab disapa Grandong, pemain tiban tidak bisa memilih lawan.
Asal berani, siapapun bisa langsung turun ke gelanggang dan mengambil ujung.
Namun biasanya panitia akan memilihkan lawan yang dianggap sepadan, misalnya pemain muda melawan pemain muda.
“Tiban sudah menjadi kesenangan. Saya asal ada arena pasti turun bertanding,” ujar Grandong.
Meski tergolong yunior, namun Grandong sudah menjadi pemain lintas wilayah.
Masih di Bulan Oktober ini, Grandong sudah bertanding di Kecamatan Bandung, bahkan sampai di Blitar.
Grandong pun bersiap mencari arena tiban, sampai nanti hujan turun dan tradisi tiban berhenti.
Sementara Jupri Solebo (53), warga Desa Kedungcangkring, Kecamatan Pagerwojo mengatakan, tiban adalah kesenian yang harus dilestarikan.
Sebab kesenian ini sudah ada turun temurun dan terjaga hingga sekarang.
Sebagai salah satu pemain yang dianggap senior, Jupri kerap mendatangi wilayah-wilayah lain yang menggelar tiban.
(Kippumjo, Tradisi Korea Utara Jaring 2000 Perawan Jadi Budak Nafsu Para Elite, bahkan Usia Belasan)
“Sudah jadi kesenangan. Mendengar suara gendang (tiban) langsung ingin bertanding,” katanya.
Jupri mengaku bertanding tiban hingga wilayah Kabupaten Trenggalek.
Bahkan bekas luka dari pertandingan sebelumnya masih meninggalkan bekas di punggungnya.
Tidak ada obat khusus untuk menyembuhkan luka bekas sabetan cemeti lidi aren ini.
“Seminggu sudah kering, dibiarkan saja tidak diobati apa-apa. Minggu depan sudah berani tanding lagi,” pungkasnya.
Kemarau panjang membuat 12 desa di Tulungagung mengalami kesulitan air bersih.
Setiap hari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mengirimkan air bersih ke daerah terdampak.
Pengiriman akan dilakukan selama hujan belum turun, dan sumber air masih belum optimal.
Reporter: Surya/David Yohanes
(Mengintip Tradisi Jamasan di Mojokerto, 10 Keris Kerajaan Jawa Dimandikan Air Kembang Tujuh Rupa)