Kilas Balik
Sebelum Bu Tien Wafat, Soeharto Alami 3 Peristiwa Tak Lumrah, Ada Hujan Badai hingga Tatapan Kosong
belum Bu Tien Wafat, Soeharto Alami 3 Peristiwa Tak Lumrah, Ada Hujan Badai hingga Tatapan Kosong
Sebelum Bu Tien Wafat, Soeharto Alami 3 Peristiwa Tak Lumrah, Ada Hujan Badai hingga Tatapan Kosong
TRIBUNJATIM.COM - Sejumlah peristiwa tak biasa dialami Soeharto sebelum istrinya, Siti Hartinah atau Tien Sooeharto wafat.
Soeharto sendiri merupakan Presiden Kedua Republik Indonesia.
Era Orde Baru, atau kepempinan Soeharto dimulai pada menjelang berakhirnya dekade 60-an.
Sejak saat itu, Soeharto pun terus berkuasa selama 32 tahun.
• Benda Terakhir yang Dibawa Soekarno Pergi dari Istana, Disembunyikan dari Soeharto, Dibungkus Kertas
Soeharto menjadi presiden seusai Soekarno turun dari jabatannya sebagai presiden yang pertama.
Saat menjadi presiden, Soeharto tentu saja bertemu dengan banyak orang.
Seorang pengelola restoran, Hioe Husni Wirajaya menceritakan pengalamannya saat bertemu Soeharto.
Termasuk saat Soeharto mengalami peristiwa yang tidak biasa menjelang wafatnya sang istri, Tien.
Kisah itu diceritakannya dalam buku berjudul "Pak Harto The Untold Stories".
Dalam buku, Hioe mengaku pernah menemani Soeharto mengunjungi Pulau Tunda, pada 26 April 1995.
Saat itu, Soeharto baru saja selesai menjalankan salat Jumat.
Begitu sampai di Pulau Tunda, Soeharto langsung memancing saat sore hari.
Tak membutuhkan waktu lama, Soeharto berhasil mendapatkan dua ekor kakap merah berukuran besar.
Namun, tiba-tiba saja muncul hujan yang disertai angin kencang, dan cuaca pun gelap.
Seketika mereka pun menghentikan kegiatan memancing itu.
"Pada saat itu arus bawah laut juga deras, sehingga dari kapal Lemuru yang beliau gunakan memancing, Pak Harto pindah ke Kapal Madrim yang lebih besar, dan saya ikut bersamanya,"kata Hioe.
Namun, peristiwa yang tidak biasa kembali terjadi.
Saat akan mandi, Soeharto tiba-tiba kehabisan air.
"Pak Harto tidak marah, beliau hanya meminta diberi air Aqua untuk melap tubuh. Saya menduga ada yang tidak sengaja atau lupa mematikan keran wastafel ketika mencuci tangan pada saat Bapak sedang memancing tadi,"ujar Hioe.
Tidak hanya itu, saat akan makan malam bersama para pejabat lainnya, termasuk Kepala Desa Tunda, genset di kapal tersebut tiba-tiba mati.
Sedangkan, saat itu juga terjadi hujan, dan angin semakin menjadi-jadi.
Akibatnya, kapal itu pun harus ditambatkan ke kapal Baracuda.
Dalam suasana seperti itu, diam-diam Hioe memperhatikan Pak Harto.
"Saya melihat pandangan mata beliau tampak kosong. Saat itu juga Pak Harto memutuskan batal memancing di hari Sabtu besok karena memperkirakan arus masih akan sangat kuat hingga keesokan harinya,"kata Hioe.
Pada hari Minggu, Hioe pun mendapatkan kabar duka.
Saat itu, istri Soeharto, Tien meninggal dunia.
Hioe kemudian teringat lagi tiga peristiwa tidak biasa yang terjadi pada Soeharto saat memancing sebelumnya.
"Saya tercenung dan menduga-duga, apakah tiga peristiwa dalam waktu berdekatan itu diantarkan alam semesta kepada Pak Harto, sebagai isyarat duka bagi beliau yang akan kehilangan istri terkasih untuk selamanya?"tanya Hioe.
Soeharto Tiba-Tiba Batal Beli Pesawat Kepresidenan 16 Juta Dollar AS, Tak Semua Diungkap ke Publik
Presiden Kedua Republik Indonesia, Soeharto ternyata pernah membatalkan pesawat kepresidenan.
Pesawat kepresidenan yang dibatalkan oleh Soeharto itu sebenarnya nilainya mencapai 16 juta dollar AS.
Soeharto sendiri memimpin Indonesia selama 32 tahun.
Soeharti menjadi Presiden Republik Indonesia menggantikan Soekarno seusai peristiwa G30S/PKI.
Selama menjadi Presiden Republik Indonesia, rupanya ada sejumlah kisah menarik terkait Soeharto.
Satu di antaranya seperti yang disampaikan oleh mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), JB Sumarlin.
Cerita tentang Soeharto itu disampaikan oleh JB Sumarlin dalam buku "Pak Harto The Untold Stories", terbitan Gramedia, tahun 2012 lalu.
Dalam buku itu, JB Sumarlin menceritakan saat Soeharto meminta pembelian pesawat kepresidenan seharga 16 juta dollar AS.
Menurut JB Sumarlin, peristiwa itu terjadi pada tahun 1975.
Saat itu, Pertamina sedang mengalami krisis keuangan.
Bahkan, krisis tersebut disebutnya bisa membangkrutkan negara.
Oleh karena itu, Soeharto pun menugaskan JB Sumarlin untuk menyelesaikan masalah itu.
Mendapatkan tugas itu, JB Sumarlin segera melaksanakannya.
Dia pun melakukan pengumpulan dan penyelidikan data.
Seusai melakukan pengumpulan dan penyelidikan data, JB Sumarlin segera melaporkannya kepada Soeharto.
Menurut JB Sumarlin, saat menghadapi berbagai masalah itu, Soeharto terlihat tetap tenang, dan tidak panik.
"Akhirnya beberapa beban utang Pertamina bisa dikurangi. Sejumlah proyek yang tidak utama, dihentikan. Sejumlah proyek prioritas dilanjutkan dengan biaya yang masuk akal," ungkap JB Sumarlin.
Termasuk juga semua perjanjian yang tidak sempurna, mengganggu, dan membebani anggaran keuangan negara, dinegosiasikan ulang dan dibenahi.
"Hasilnya, nilai kontrak-kontrak perjanjian sipil dan utang dipegang, dari semula US$ 2,5 miliar bisa diperkecil jadi sekitar US$ 1 miliar. Kontrak sewa beli tanker samudera dan tanker dalam negeri yang semula membebani Pertamina US$ 3,3 miliar, dibatalkan dengan biaya US$ 260 juta," terang JB Sumarlin.