Angkat Kisah 'Kampung Idiyot' Warga Tuna Grahita, Seniman Gilang Ramadhani Kreasikan Tari Hola Holo
Seniman Gilang Ramadhani kreasikan tari Hola Holo. berangkat dari pengalaman pribadi diejek telmi. Singgung kisah perundungan warga Kecamatan Balong.
Penulis: Christine Ayu Nurchayanti | Editor: Hefty Suud
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Berangkat dari pengalaman pribadi sering menerima umpatan, seniman Gilang Ramadhani kreasikan tari Hola Holo.
"Umpatan 'ola olo' atau tolah-toleh, bingung, telmi, dan lain-lain, menginspirasi saya untuk menyusun karya tari Hola Holo ini. Karena dengan ini, saya menjadi terpacu untuk mengembangkan diri," ungkap alumnus Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya ini.
Di samping itu, cerita perundungan juga pernah dialami oleh warga Desa Karangpatihan, Kecamatan Balong, Kabupaten Ponorogo yang dulu dijuluki "Kampung Idiyot".
• VIRAL Perubahan Cewek Dulu Dekil sampai Cowok-cowok Jijik dan Dibully, Kini Glowing Jadi MUA
• Hindari Kemacetan di Lamongan Saat Libur Panjang, Perhatikan Rekayasa Puluhan Jalur Alternatif
Warga mendapat julukan itu karena beberapa persen orang di sana merupakan penyandang tuna grahita.
"Namun beberapa tahun terakhir, desa ini berhasil menepis julukan dan berubah menjadi desa wisata berkat interaksi sosial yang dilandasi oleh simpati dan empati dari pemerintah desa setempat. Dibantu dengan kelompok relawan yang merangkul para penyandang Tuna Grahita," ungkap laki-laki kelahiran Ponorogo, 7 Februari 1995 ini.
Kedua pengalaman itu pun melahirkan karya Hola Holo yang segera bisa disaksikan di kanal YouTube STKW Surabaya dan 5678Klink.
• Siswa SMKN di Tulungagung Buat Alat Cuci Tangan dan Sensor Suhu Otomatis, Jadi Andalan saat Pandemi
• Bekerja di Rumah, ASN Batu Dituntut Tetap Produktif dan Efektif Walau WFH
"Karya Hola Holo ini terinspirasi dari fenomena bullying yang masih marak terjadi hingga saat ini. Cara pandang terhadap orang yang kurang dalam tanda kutip masih erat dengan umpatan-umpatan yang mengesampingkan sisi kemanusiaan," ungkap Gilang.
Untuk gerakan, Hola Holo berpijak pada beberapa motif gerak tradisi pada tari Bujang Ganong Ponorogo. Diantaranya gerak kocomoto, bapangan, dan geculan.
"Saya kembangkan dengan metode distorsi guna mencapai karakter yang diharapkan. Sementara untuk beberapa bagian, gerakan dibangun berdasarkan motivasi atau narasi sederhana," kata Gilang.
Ia mulai menyusun karya ini sejak 2019, diawali dengan pengumpulan data yang kemudian disusun menjadi gagasan.
"Pada 2020, awal proses berlanjut ke tahap penyusunan skenografi. Disusul dengan eksplorasi musik serta tari," ungkapnya.
Hola holo, lanjut Gilang, merupakan manifestasi dari berartinya proses interaksi sosial yang dibangun berlandaskan simpati dan empati untuk peningkatan kualitas hidup sekelompok orang.
"Beberapa teknik komposisi dan koreografi yang saya gunakan lebih menitikberatkan pada penonjolan simbol melalui gerak karena fokus utama pada karya ini adalah pembawaan karakter," ia memaparkan.
Meskipun karya Hola Holo disusun untuk memenuhi tugas akhir S1 jalur kreator STKW Surabaya, namun Gilang berharap karyanya bisa menjadi perenungan.
"Sekarang bukan jamannya lagi untuk memandang orang dengan sebelah mata. Tidak menutup kemungkinan bahwa yang dipandang sebelah mata bisa jadi lebih bermakna pada saatnya nanti," pungkasnya.
Penulis: Christine Ayu Nurcahyanti
Editor: Heftys Suud