Tahun Baru Islam
Memasuki Bulan Suro, Mengapa di Masyarakat Jawa Ada Ritual Cuci Benda Pusaka? Ini Penjelasannya
Biasanya memasuki Tahun Baru Islam atau Bulan Suro, ada tradisi mencuci benda pusaka, mengapa? Ini penjelasannya.
TRIBUNJATIM.COM - Tak terasa sudah memasuki Tahun Baru Islam atau Tahun Baru Jawa.
Biasanya memasuki Tahun Baru Islam, ada tradisi yang biasa dilakukan pihak Keraton seperti Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta.
Satu di antara tradisinya adalah mengadakan acara kirab pusaka yang bisa disaksikan langsung oleh masyarakat umum atau wisatawan.
• Tanggal Puasa Asyura dan Tasua di Bulan Muharram 1442 H, Ada 3 Keutamaannya, Menghapus Dosa Setahun
Selain itu, ada juga tradisi lain yang lebih utamanya yaitu mencuci benda pusaka atau dalam bahasa Jawa, Jamasan Pusaka.
Lalu mengapa kegiatan mencuci pusaka selalu dilakukan bertepatan dengan masuknya bulan Suro dan menjadi tradisi Jawa?
Menurut Sekretaris Tepas Museum Keraton Yogyakarta RA Siti Amieroel N, ritual mencuci benda pusaka atau Jamasan Pusaka ini selalu dilakukan oleh Keraton pada saat memasuki Tahun Baru Jawa.
• Doa Buka Puasa Tasua dan Asyura di 9-10 Muharram 1442 H, Dilengkapi Bacaan Niat Lafal Arab dan Latin

• 1 Muharram 1442 H, Puisi Gus Mus Selamat Tahun Baru Kawan Bisa Jadi Renungan Refleksi Diri, Simak!
"Mencuci pusaka itu dilakukan bukan pas Satu Suro-nya, tapi pas bulan Suro. Maksudnya kan awal tahun, jadi diharapkan tahun yang akan datang itu kan menjadi lebih baik," kata Amieroel saat dihubungi Kompas.com, Kamis (20/8/2020).
Ritual Jamasan Pusaka tersebut memiliki makna agar seseorang dapat membersihkan dirinya guna menyambut masa yang akan datang, yaitu tahun baru.
Lanjutnya, ritual tersebut tidak bisa dilihat oleh masyarakat umum atau wisatawan.
Artinya, ritual ini dilakukan secara tertutup oleh pihak Keraton.
• Memasuki Bulan Muharram 1442 H, Kapan Waktu Puasa Asyura dan Tasua? Lengkap Lafal Niat Arab & Latin
Benda pusaka dianggap sakral

Pencucian benda pusaka atau Jamasan Pusaka itu sudah menjadi ritual Keraton setiap bulan Suro.
Alasannya, benda pusaka tersebut dianggap sakral, sehingga harus dipelihara dan dirawat.
Amie menjelaskan, orang Jawa melihat benda pusaka sebagai visualisasi dari laki-laki yang artinya Imam atau pemimpin.
"Nah, salah satu visualisasi itu adalah keris atau pusaka. Kalau pusakanya itu terawat dengan baik, tentu dia akan berakhlak baik, kalau pusakanya tidak pernah dirawat, tentu sebaliknya," ujar dia.