Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Citizen Journalism

Cerita Kelam I Gede Swadiaya Hingga Dapat Hidayah, Berawal dari Kecelakaan, Trenyuh Dengar Adzan

Sosoknya tegas namun ramah. Sorot matanya tajam, narasi-narasinya lugas terukur. Tangannya terlihat masih kekar berurat.

Editor: Sudarma Adi
ISTIMEWA/TRIBUNJATIM.COM
I Gede Swadiaya alias Muhammad Khairuddin 

TRIBUNJATIM.COM, BALI - Cerita kelam I Gede Swadiaya hingga akhirnya mendapat hidayah Islam

Perjalanan hidupnya penuh liku-liku, semuanya berubah dari momen kecelakaan. 

Cahaya keimanan akhirnya merasuk ke hatinya, sehingga dia berusaha istiqomah di jalan lurus, dengan jadi peruqyah.

Ini kisah hidupnya.

"Saat itu, Ustad Yusuf salat, saya di sebelahnya minum Red Label. Dalam kondisi mabuk, saya mendengar lantunan bismillahirrohmanirrohim, kok hati saya tergetar bahagia. Dua puluh tahun saya mencari ustad muda dari Bangkalan Madura ini. Namun, sampai detik ini belum ketemu. Rindu dan ingin berterimakasih,” ujar Bli I Gede Swadiaya alias Muhammad Khairuddin, Sabtu (22/8/2020) di Pantai Pamuteran, Bali.

Cerita Mualaf Didi Kempot, Gus Miftah Sedih Ingat Janji Terakhir Almarhum: Mas, Jenengan Mau Ngaji

Kisah Menyentuh Pria Masuk Islam (Mualaf) setelah Mimpi Didatangi Rasulullah SAW: Rasakan Kedamaian

Udara Pantai Pamuteran Buleleng sangat bersahabat sore itu.

Matahari tampak malu mengintip di balik selarik awan yang menggaris indah.

Sementara, angin berembus lembut, ditingkahi ombak bergulung ringan dengan deburan lelahnya saat mencapai bibir pantai.

Di depan pura kecil itu, saya dan Moh Khoiruddin meriung dengan sejumlah peruqyah aswaja.

Sosoknya tegas namun ramah. Sorot matanya tajam, narasi-narasinya lugas terukur. Tangannya terlihat masih kekar berurat.

Tato tiga naga, mengukir di tubuhnya.

Ia mengawali ceritanya mengenal islam. Lalu melompat pada jejak jejak hidupnya pada 1999 silam.

Ia asli Lombok, NTB. Merantau ke Bali pada 1997 dengan berbekal beragam kesaktian, mulai kebal bacok, hingga anti bengep, ia dapatkan dari dukun dukun di daerahnya.

“Tahun 1997, saya sampai di Bali,” ia mengisahkan.

Pertarungan demi pertarungan ia lakoni di kerasnya kehidupan kota besar untuk mencari nama dan ‘mengibarkan bendera’.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Jatim
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved