Anggota Dewan Dihujat dan Diusir oleh Massa Aktivis Mahasiswa, Dampak UU Cipta Kerja
Tidak paham soal UU Cipta Kerja yang baru disahkan oleh DPR RI, Anggota Dewan dihujat dan diusir oleh aktivis mahasiswa.
Penulis: Hanif Manshuri | Editor: Mujib Anwar
TRIBUNJATIM.COM - Anggota Dewan dihujat dan diusir aktivis mahasiswa, Rabu (7/10/2020).
Penyebabnya, si Anggota Dewan tersebut tidak paham soal UU Cipta Kerja yang baru disahkan oleh DPR RI bersama pemerintah.
Peristiwa tersebut terjadi ketika massa aktivis mahasiswa yang tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia / PMII Cabang Lamongan Jawa Timur menggelar aksi demonstrasi di depan gedung DPRD Lamongan.
Mahasiswa mempermasalahkan UU Cipta Kerja yang disahkan DPR RI dan langsung mengundang polemik dan protes dari sejumlah kalangan.
Dalam aksinya, massa aktivis mahasiswa PMII Cabang Lamongan, para mahasiswa tidak hanya menyoal UU Cipta Kerja, mahasiswa juga mengungkit pengesahan Perda RT/RW yang disahkan DPRD Lamongan, sehari setelah aksi mereka pada 21 Agustus 2020.
Massa merasa dilecehkan oleh para wakil rakyat di DPRD Lamongan terkait pengesahan Perda RT/RW, karena tuntutan agar Perda RT/RW ditolak tidak dikabulkan.
Janji dewan untuk menunda pengesahan Perda RT/RW kepada para mahasiswa saat itu, dianggapnya hanya upaya menelikung tuntutan mahasiswa.
"Buktinya, dua hari setelah demo, Perda itu disyahkan, " tandas Korlap aksi Ahmad Nasyir Falahuddin.
Anggota DPRD Lamongan, Abdul Somad yang menemui massa tidak diterima oleh para mahasiswa.
Bahkan sebaliknya, Somad menjadi ejekan para mahasiswa, lantaran 4 kali menyebut UU Cipta Kerja diganti dengan UU Cipta Karya.
Sebutan UU Cipta Karya hingga empat kali oleh Somad langsung diteriaki para mahasiswa.
"Coba sebutkan mana Undang -Undang Cipta Karya yang sampean anggap tidak sesuai," kata Abdul Somad.
Massapun menyambut dengan teriakan bersahut-sahutan, karena Somad berulangkali menyebut UU Cipta Karya dan bukannya UU Cipta Kerja.
Mahasiswa akhirnya menolak semua apa yang disampaikan Abdul Somad, dan meminta Somad balik kanan.
Somad mencoba kembali menyinggung Perda RT/RW.
"Pansus sudah selesai, dan sudah diparipurnakan. Kalau hanya untuk membahas UU Cipta Kerja mari masuk," pinta Somad.
Tidak digubris oleh massa aktivis mahasiswa PMII Cabang Lamongan, Somad kembali masuk ke gedung DPRD. Massa kembali berosasi dan menghujat Abdul Somad.
"Kalau wakil rakyat tidak tahu Undang - Undang Cipta Kerja, bagaimana bisa diajak dialog dan berdiskusi. Inikah kualitasnya," tandas Falahuddin.
Massa minta Ketua DPRD atau selain Somad untuk menemuinya. Hingga berulangkali permintaan disampaikan, tidak ada lagi anggota dewan yang mau menemui mereka.
Hingga berita ini dikirim, massa terus berorasi dan dijaga ketat personil Polres Lamongan. Di pintu gerbang gedung DPRD dipagar betis Polwan dan Polki.
Sampai berita ini dikirim, massa masih konsentrasi di depan gedung DPRD Lamongan, Jalan Basuki Rahmad Lamongan.
8 Poin UU Cipta Kerja yang Jadi Sorotan
Sementara itu, dikutip dari Kompas.com ( TribunJatim.com Network ), Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) menemukan delapan poin dalam Bab Ketenagakerjaan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang dinilai berpotensi mengancam hak-hak buruh. Delapan poin itu ditemukan berdasarkan hasil kajian FBLP setelah UU Cipta Kerja disahkan dalam Rapat Paripurna di DPR, Senin (5/10/2020).
"Setelah membaca undang-undang nir-partisipasi tersebut, kami menemukan setidaknya delapan bentuk serangan terhadap hak-hak buruh yang dilegitimasi secara hukum," ujar Ketua Umum FBLP Jumisih dalam keterangannya kepada Kompas.com, Selasa (6/10/2020).
Delapan poin yang mendapat sorotan dalam UU Cipta Kerja, yakni:
1. Masifnya kerja kontrak
Dalam Pasal 59 ayat 1 huruf b disebutkan bahwa pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama. Pergantian batas waktu pekerjaan yang penyelesaiannya "tiga tahun" sebagai salah satu kriteria perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) menjadi "tidak terlalu lama" bisa menyebabkan pengusaha leluasa menafsirkan frasa tersebut. Berdasarkan Pasal 59 ayat 4, pengaturan mengenai perpanjangan PKWT dialihkan untuk diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP).
Sementara itu, pelanggaran penerapan kerja kontrak selama ini cenderung tidak pernah diusut secara serius oleh pemerintah. Dengan demikian, PP yang akan dibentuk ke depan sangat berpotensi memperburuk jaminan kepastian kerja.
2. Outsourcing pada semua jenis pekerjaan
Sebelumnya, berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, praktik outsourcing hanya dibatasi pada jenis pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan produksi.
Batasan ini kemudian dihapuskan oleh UU Cipta Kerja. Padahal, praktik kerja outsourcing selama ini hanya menguntungkan perusahaan dan berimbas pada pengurangan hak-hak buruh.
3. Jam lembur yang semakin eksploitatif
Pada Pasal 78, batasan maksimal jam lembur dari awalnya maksimal tiga jam dalam sehari dan 14 jam dalam sepekan menjadi empat jam dalam sehari dan 18 jam dalam seminggu. Selain akan berakibat pada kesehatan buruh, besaran upah lembur yang diterima juga tidak akan sebanding mengingat upah minimum yang menjadi dasar penghitungan upah lembur didasarkan pada mekanisme pasar berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
4. Menghapus hak istirahat dan cuti
Berdasarkan Pasal 79, hak istirahat selama dua hari kepada pekerja yang bekerja dalam lima hari seminggu dihapus.
Hak cuti panjang selama dua bulan bagi buruh yang telah bekerja minimal enam tahun juga dihapus oleh UU Cipta Kerja.
5. Gubernur tak wajib menetapkan upah minimum kabupaten/kota
Berdasarkan Pasal 88C UU, disebutkan bahwa gubernur “dapat” menetapkan upah minimum kabupaten/kota. Artinya, tidak ada kewajiban hukum bagi gubernur untuk menetapkan UMK. Dengan demikian, kepastian adanya jaminan upah minimum yang selama ini dinarasikan sebagai “jaring pengaman sosial” terancam.
Ketentuan pengupahan yang termuat dalam PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan juga diadopsi oleh UU Cipta Kerja yang mengakibatkan semakin kokohnya cengkeraman mekanisme pasar dalam penentuan upah.
6. Peran negara dalam mengawasi praktik PHK sepihak diminimalisasi
Sebelumnya, dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terdapat kewajiban pengusaha untuk meminta penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial saat melakukan PHK kepada buruh. Hal ini, kendati sering dilanggar, penting guna memastikan terpenuhinya hak-hak buruh saat terjadi PHK. Namun, UU Cipta Kerja menghapuskan ketentuan ini.
7. Berkurangnya hak pesangon
Berkurangnya hak itu karena penggabungan atau pengambilalihan perusahaan, perusahaan tutup, sakit berkepanjangan, dan meninggal dunia.
Sebelumnya, berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003, dinyatakan berhak atas pesangon sebanyak dua kali lipat dari perhitungan berdasarkan masa kerja, kini dihapus UU Cipta Kerja.
8. Perusahaan makin mudah melakukan PHK sepihak
Berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003, diatur bahwa PHK kepada pekerja yang mangkir atau melanggar peraturan perusahaan diatur syarat yang cukup ketat. Namun, ketentuan ini dihapus oleh UU Cipta Kerja. Hal ini akan mempermudah perusahaan untuk melakukan PHK dengan alasan yang tidak obyektif.
Hal ini juga membuat pengurus dan anggota serikat buruh sangat potensial untuk mengalami PHK sepihak oleh perusahaan. Berdasarkan temuan tersebut, FBLP mendesak agar UU Cipta Kerja dibatalkan.
"UU Cipta Kerja, sebagaimana telah mendapatkan kritikan sebelumnya, juga merupakan serangan pada masyarakat luas, petani, nelayan, masyarakat adat, kaum miskin kota, perempuan, pemuda, pelajar, mahasiswa, dan lainnya. Karena itu, kami menyatakan sikap, batalkan UU Cipta Kerja sekarang juga," kata Jumisih. (*)