Pesawat Sriwijaya Air Jatuh
Kejanggalan Jatuhnya Sriwijaya Air, Terkuak Pemicu 'Mendadak': Pilot Tak Sadar, Mesin Itu Pertanda
Perjalanan 'janggal' Sriwijaya Air memicu adanya perpindahan jalur dan disorientasi dari sang pilot, para pakar dan ahli mulai menerka-nerka sebabnya.
Penulis: Ignatia | Editor: Mujib Anwar
TRIBUNJATIM.COM - Analisis dari Budhi Mulyawan, mantan Dirjen Perhubungan Udara Indonesia tentang pemicu jatuhnya pesawat Sriwijaya SJ182 diungkap.
Mantan Dirjen Perhubungan Udara di tahun 2007-2009 tersebut menyebutkan berbagai kemungkinan tentang penyebab Sriwijaya Air SJ 182 jatuh.
Termasuk menganalisis sifat jatuh Sriwijaya Air yang diketahui begitu mendadak dalam hitungan menit.
Besar kemungkinan sesuatu tersebut berkaitan dengan cuaca atau hal lain.

Budhi Mulyawan menyampaikan pendapatnya itu seperti dikutip TribunJatim.com dari Tribunnews.com.
Hal yang harus diperhatikan dari kasus jatuhnya Sriwijaya Air SJ182 itu adalah fakta bahwa kondisi mesin masih menyala bahkan ketika badan pesawat menghantam air laut.
Menurut Budhi, ada faktor lain yang menyebabkan jatuhnya pesawat bahkan sang pilot sendiripun tidak sadar.
Budhi menyebut Sriwijaya Air jatuh dalam keadaan sangat mendadak.
Baca juga: Sudah Tak Bisa Menangis Lagi, Ibunda Indah Korban Sriwijaya Tanggapi Jasad Teridentifikasi: Kembali
"Jika sesuai keterangan dugaan KNKT engine masih hidup, berarti ada hal lain yang menyebabkan pesawat ini jatuh mendadak," ujar Budhi kepada Tribunnews, Rabu (13/1/2021).
Namun, Budhi menambahkan keterangan KNKT ini masih terlalu dini untuk disimpulkan.
"Bisa melihat dari flight radar secara kasar ya, kurang dari 1 menit udah nyebur ke laut, pasti ada sesuatu yang tiba-tiba."
"Sehingga, pilot pun tidak sadar apa yang terjadi," tutur Budhi.
Baca juga: Dugaan Masih Hidup Mesin Sriwijaya Air sebelum Masuk Air, Mantan Menhub: Pilot Akan Kirim Sinyal SOS
Budhi mengatakan biasanya jika pilot sadar adanya kerusakan pada pesawat, sang pilot akan memberikan peringatan kepada penumpang.
Serta, akan mengirimkan sinyal SOS atau Emergency Location Transmitter (ELT).
"Biasanya, pilot kalau sadar ada kerusakan, di cockpit dia akan langsung bilang, hati-hati penumpang, kita siap-siap untuk menyebur ke laut, pendaratan darurat."
"Dia ( Pilot ) akan mengirimkan sinyal SOS," jelas mantan Menhub itu.
Pesawat Sriwijaya Air SJ 182 ini memang tidak mengirim sinyal marabahaya saat hilang kontak.
Budhi menyampaikan pasti ada satu hal yang membuat sang pilot sampai tidak bisa memberikan sinyal ELT itu.
"Ini pilot tidak sempat sama sekali, kejadiannya begitu cepat,"
"Pasti ada sesuatu, dugaannya bisa cuaca atau bisa yang lainnya," ujarnya.
Mantan Menhub itu menuturkan untuk tetap menunggu konfirmasi lebih lanjut terkait penyebab jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182.
Mengingat bagian black box Sriwjaya Air 182 ini sudah ditemukan.
Sehingga dapat diketahui apa yang harus diselidiki lebih lanjut.
"Dalam kondisi seperti ini, kita masih perlu konfirmasi kan black box sudah ketemu, ke arah mana semua investigasi ini," pungkas Budhi.
Baca juga: Mudah-mudahan Syahid Doa Ayah Pramugara Sriwijaya Air SJ 182, Berharap Penyebab Kecelakaan Terkuak
Pasca seminggu setelah kejadian nahas itu terjadi, pihak-pihak terkait masih terus melakukan pencarian hingga mengumpulkan bukti demi investigasi.
Satu kesimpulan baru terkait pemicu jatuhnya Sriwijaya Air SJ182 diungkap ke publik.
Pesawat Sriwijaya PK-CLC tersebut diduga hendak berpindah jalur.
Hal itu membunat sang pilot mengalami disorientasi saat terbang, menurut pengamat penerbangan.
Baca juga: Korban Sriwijaya Air SJ 182 Agus Minarni Teridentifikasi, Keluarga Harap Sang Suami Segera Ditemukan
Kedua hal tersebut diduga membuat pesawat oleng dan terjun bebas dalam kondisi mesin masih hidup.
Analisis ini didapatkan dari hasil rekam jejak penerbangan yang dirilis Flightradar24.com.
Situs pelacak penerbangan ini mengombinasikan data dari Automatic Dependent Surveillance-Broadcast (ADS-B), Multilateration (MLAT), dan data radar.
Ketiganya diagregasi dan dikombinasikan dengan jadwal dan status penerbangan dari maskapai dan bandara untuk menghasilkan rekam jejak.
Meski demikian, temuan ini perlu diteliti lebih jauh dan dicocokkan akurasinya dengan data rekam penerbangan dari pesawat (FDR) yang kini tengah diteliti Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).
Merujuk data Flightradar24, sejak kembali aktif mengudara pada 19 Desember 2020, pesawat PK-CLC terbang dengan rute yang sama sebanyak sembilan kali.
Peta di bawah menggambarkan tiga penerbangan terakhir Jakarta-Pontianak, yakni pada 3 Januari 2021, 9 Januari 2021 saat pagi hari pukul 05.14 WIB dan siang hari pukul 14.36 WIB.
Apabila digabungkan dengan data prosedur keberangkatan (Standard Instrument Departure) yang dirilis Kementerian Perhubungan, tampak dua jalur yang biasa ditempuh oleh pesawat.
Jalur pertama seperti yang tergambar pada rekam penerbangan 9 Januari pagi hari (garis berwarna biru).
Setelah lepas landas dari bandara, pesawat akan diarahkan menuju titik yang disebut Winar dan belok ke kanan, ke titik Arjuna. Dari Arjuna, dia kemudian bergerak ke timur laut (pada peta, ke arah serong atas kanan) menuju Pontianak.
Baca juga: Sudah Tak Bisa Menangis Lagi, Ibunda Indah Korban Sriwijaya Tanggapi Jasad Teridentifikasi: Kembali
Pada beberapa kondisi, pesawat bisa diarahkan ke titik Abasa, jalur pintas.
Perjalanan ini nampak pada penerbangan 3 Januari (garis berwarna hijau), yang menjadi pilihan jalur kedua.
Sesuai prosedur, perpindahan jalur ke titik Abasa biasa terjadi jika cuaca baik, tidak ada awan tebal, dan kondisi lalu lintas di udara cenderung sepi sesuai arahan Air Traffic Controller (ATC). Setelah dari Abasa, dia akan bergerak menuju destinasi.
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, kondisi cuaca kala pesawat terbang sedang hujan dan disertai petir dengan jarak pandang sejauh 2 kilometer.
Meski demikian, cuaca ini dikategorikan layak terbang atau mendarat.
Upaya perpindahan jalur ke Abasa diduga dilakukan oleh sang pilot pada penerbangan 9 Januari siang hari, sebelum kecelakaan terjadi.
"Diarahkan ke jalur pintas itu bukan masalah dan wajar, tapi belum sampai (jalur pintas), dia terus oleng dan jatuh," ujar pengamat penerbangan Gerry Soejatman, saat dihubungi jurnalis BBC dikutip dari Tribunnews.com, Aghnia Adzkia pada Selasa (12/1/2021).
Pada peta tersebut, fase oleng dan jatuh tampak saat pesawat sempat kehilangan arah saat menuju Abasa.

Alih-alih berbelok ke arah timur laut posisi titik Abasa, ia justru sempat berbelok ke arah barat jalur normal dan kemudian tak lama kembali ke timur, dan jatuh.
Pada saat membelok ini, ketinggian pesawat menurun dari 3.322 meter di atas permukaan laut (mdpl), ke posisi 2.476 meter dalam waktu 10 detik.
Pilot Disorientasi
Adanya perbedaan jalur terbang yang dipilih oleh pilot Sriwijaya Air SJ182 yakni Captain Afwan menjadi perbincangan yang lebih dalam.
Data menunjukkan adanya gambar yang menyimpulkan pergerakan pesawat sebelum benar-benar terjatuh.
Apabila digambarkan dalam bentuk tiga dimensi menggunakan data ketinggian pesawat, maka akan tampak arah jalur pesawat yang tak beraturan saat oleng dan jatuh.
Baca juga: Korban Jatuhnya Sriwijaya Air Agus Minarni Teridentifikasi, Jenazah Akan Dimakamkan di Mempawah
Gerry memperkirakan, sang pilot mengalami disorientasi. Meski demikian, ia menjelaskan, hal ini bersifat dugaan dan perlu dicocokkan dengan data penerbangan dari pesawat. Terlebih, kecelakaan pesawat tidak hanya terjadi karena satu faktor penyebab.
"Ada kemungkinan disorientasi atau human factors. Tapi saya juga tidak bisa memastikan kapan disorientasi dimulai," kata Gerry.
"Analogi disorientasi itu kalau jalan di ruangan gelap dan mata ditutup, kita berpikir ini tegak tapi ternyata miring, berpikir naik tapi ternyata turun. Sekalipun pilot senior bisa disorientasi."
Mengutip lama Federation Aviation Administration, disorientasi ruang terjadi karena ketidakmampuan tubuh untuk mengidentifikasi kondisi sekitar saat terbang.
Gangguan sistem keseimbangan tubuh bisa terjadi karena adanya gangguan sensor dan ilusi.
Tiga rangsangan sensorik yang berperan membentuk keseimbangan tubuh di antaranya penglihatan, saraf vestibular di telinga bagian dalam, dan proprioception atau persepsi rangsangan untuk mengetahui posisi tubuh.
Orientasi ruangan saat terbang sulit dicapai, tergantung dari arah, kekuatan, dan frekuensi stimulus ketiga sensor. Jika ketiganya tidak bekerja dengan baik, maka akan terjadi konflik sensorik yang menyebabkan otak tidak bisa mengidentifikasi arah dan posisi.
"Itu kenapa saat terbang harus mengandalkan instrumen dan manual," katanya.
Statistik FAA menunjukkan sebanyak 5% hingga 10% kecelakaan pesawat terjadi karena disorientasi dan mayoritas mengakibatkan korban jiwa.
Artikel di atas diolah dari artikel yang tayang di Tribunnews.com dan TribunWow.com berjudul Perjalanan 'Janggal' Sriwijaya Air SJ 182, Diduga Hendak Berpindah Jalur dan 'Disorientasi'
Baca juga: Dugaan Masih Hidup Mesin Sriwijaya Air sebelum Masuk Air, Mantan Menhub: Pilot Akan Kirim Sinyal SOS