Dosen ITS Surabaya Kembangkan Riset Nano Chitosan untuk Pengobatan Covid-19, Berbahan Hewan Laut
Dsen Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) mengembangkan chitosan sebagai material untuk aplikasi medis dan industrial.
Penulis: Sulvi Sofiana | Editor: Pipin Tri Anjani
Reporter: Sulvi Sofiana I Editor: Pipin Tri Anjani
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Seiring dengan meningkatnya paparan Covid-19, berbagai inovasi pengobatan Covid-19 terus dilakukan akademisi.
Seperti yang dilakukan salah satu dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya dalam riset teknologi berupa nano chitosan dengan metode baru.
Yaitu Yuli Setiyorini dibantu oleh Sungging Pintowantoro, Kepala Laboratorium Pengolahan Mineral dan Material, Departemen Teknik Material dan Metalurgi, Fakultas Teknologi Industri dan Rekayasa Sistem ITS.
Keduanya melakukan kolaborasi sejak tahun 2010 untuk mengembangkan chitosan sebagai material untuk aplikasi medis dan industrial dengan metode yang ramah lingkungan dari bahan baku lokal.
Rini, sapaan akrab Yuli Setiyorini menjelaskan chitosan merupakan biopolimer sejenis selulosa yang ditemukan pada kerangka luar beberapa hewan laut seperti kerang, kepiting, lobster, dan udang.
Untuk penanganan pasien Covid-19 dengan chitosan, dikatakan Rini akan mengurangi replikasi virus dalam tubuh.
Sehingga meningkatkan daya tahan tubun dengan memicu naiknya level macrophage, sDC (dendritic cell) dan NK (natural killer cell) yang memegang peranan penting dalam perlindungan infeksi virus.
"Naiknya leukosit (sel darah putih) seiring dapat mengaktifkan sel imun bawaan yang berdampak terhadap peningkatan sekresi cytokines,"paparnya.
Sekadar diketahui, sekresi cytokines berperan penting sebagai antiviral properties.
Baca juga: Terjawab Isu Stefan William-Celine Evangelista Cerai, Istri Minta Doa ke Publik, Kondisi Asli Dikuak
Properties regeneration dari chitosan juga dapat memperbaiki jaringan yang rusak karena terinfeksi, di mana kerusakan jaringan paru menimbulkan kesulitan bernafas.
Ditambah sifat antiinflammation dan antioksidan dari chitosan dapat mengurangi proses peradangan dan oxidative stress selama proses penyembuhan.
“Pemilihan chitosan sebagai theraputic agent dikarenakan multi properties yang dimilikinya, yang berpotensi sebagai therapeutic agent multifunction,” bebernya.
Pengujian secara klinis ini dilakukan Rini dengan memberikan chitosan secara gratis untuk terapi bagi yang membutuhkan.
Ia juga tetap ingin dapat membantu sesama yang membutuhkan hingga seterusnya, sebagai sumbangsih kemanfaatan ilmu yang telah diperoleh.
“Alhamdulillah, penelitian kami memberikan harapan bagi para pasien tersebut dan proses kesembuhan juga sangat signifikan,” tegasnya.
Dosen Teknik Material dan Metalurgi ini memaparkan riset chitosan yang dilakukannya tidak menggunakan bahan kimia (green technology) dengan memanfaatkan energi dari gelombang mikro.
"Sehingga produk yang dihasilkan sudah pada skala nano partikel (nano chitosan) dan memiliki sifat perbaikan jaringan yang lebih cepat,"tegasnya.
Produk chitosan dengan metode proses yang baru ini menggunakan bahan baku kulit udang dan limbah organik lain yang mengandung chitin seperti cangkang kepiting, beberapa cangkang binatang laut, serangga serta tumbuhan jamur dan alga.
"Bahan baku kulit udang ini dipilih karena jumlah limbahnya di Indonesia yang melimpah,"urainya.
Selama ini olahan limbah kulit udang tersebut hanya berkisar untuk pakan ternak dan campuran pelet makanan binatang, Karena itu ia memilih limbah kulit udang untuk dijadikan sesuatu yang bermanfaat.
“Sebab kalau tidak diolah malah dapat memicu terjadinya gas methane yang berbahaya,” ujarnya.
Rini mengatakan, riset ini berawal dari kesulitannya dalam mendapatkan produk chitosan dengan kualitas medis yang sesuai dengan penelitian yang sedang dilakukan di Laboratorium Pengolahan Mineral dan Material.
Yakni pengembangan tissue regeneration dari material nonbiologis untuk memiliki sifat biologis, sehingga dapat menyembuhkan luka.
"Kunci sukses pada bidang biomaterials, khususnya pengembangan medical devices for replacement yang salah satunya berupa implant. Sehingga dapat mengurangi kegagalan penggunaan medical devices replacement dalam tubuh,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Rini menyampaikan bahwa pencarian material yang memiliki potensi tersebut jatuh pada chitosan yang memiliki banyak sifat untuk aplikasi medis seperti antibacterial, antiviral, wound healing, antiinflammation, antioxidant, biodegradable, biocompatibility, non-toxic dan masih banyak lagi.
Untuk diketahui, potensi sifat-sifat tersebut sangat dipengaruhi oleh proses pembuatan atau produksi chitosan itu sendiri
Meskipun chitosan sudah banyak diperjualbelikan di pasaran, lanjut Rini, namun belum tentu sifatnya sama persis atau kualitas dan performanya sama.
Perlu pengkajian dalam proses pembuatannya hingga ia menemukan banyak kekurangan terutama pada tingkat efisiensi dan ramah lingkungan.
Seperti produk chitosan hasil risetnya yang memanfaatkan gelombang mikro.
“Dengan teknik yang berbeda pada proses konvensional yang menggunakan bahan kimia, alhamdulillah properties (sifat) chitosan juga berbeda,” tutur alumnus Curtin University of Technology, Western Australia ini.
Lulusan doktor dari Institute Materials for Research (IMR), Tohoku University, Jepang ini juga membeberkan bahwa chitosan yang ia kembangkan bukan hanya untuk aplikasi medis.
Namun juga bisa diaplikasikan untuk industri pengolahan makanan, industri pertanian, industri perikanan, tekstil, kertas, sampai biosorption logam tanah jarang dan logam berat lainnya.
"Tapi yang paling utama adalah menciptakan kemandirian dalam membuat dan memproduksi sendiri dari bahan baku lokal dalam rangka meningkatkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dengan proses yang murah dan ramah lingkungan,"tegasnya.
Sungging menambahkan produknya ini diharapkan berkualitas medis dengan tingkat efisiensi yang tinggi, murah dan ramah lingkungan.
Baca juga: CCTV Adegan Ranjang RSUD Heboh, Fakta di Baliknya: Pelaku Pasien Covid-19, Direktur RS-Polisi Gercep
"Secara tidak langsung, hal tersebut menjawab tantangan isu dalam proses pembuatan chitosan yang saat ini masih belum efisien,"lanjutnya.
Produk chitosan milik Rini ini beberapa sudah diuji baik uji in-vitro maupun in-vivo.
Chitosannya ini juga telah diaplikasikan sebagai dental filler, bone cement, implant coating, antibacterial dan therapeutic agent.
"Pengujian secara klinis juga sudah dilakukan kepada pasien sukarela dengan trackrecord medis yang sudah tidak mampu lagi ditangani oleh dokter,"tegasnya.
Serta ada beberapa pasien yang memang tidak memiliki asuransi kesehatan tetapi penyakit yang diderita membutuhkan biaya yang besar seperti kanker, diabetes, bacterial diseases, virus diseases, Covid-19 dengan penyakit bawaan (penyerta), dan pneumonia serta beberapa penyakit lainnya.
Saat disinggung mengenai kendala risetnya, ia mengungkapkan biaya produksi dan rumitnya birokrasi kesehatan menjadi kendala terbesar.
Sehingga ia berharap adanya mitra yang juga memiliki jiwa kemanusiaan dan sosial untuk program gratis chitosan bagi yang membutuhkan terutama bagi masyarakat tidak mampu.
Harapannya, dari risetnya ini Indonesia tidak lagi bergantung pada produk impor, sehingga kemandirian pada bahan baku lokal yang dapat dikelola dan dimanfaatkan bisa diaplikasikan untuk pemenuhan masyarakat Indonesia dengan proses yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
“Harapan ke depan, ITS dapat membaca potensi dan prospek dari hasil pengembangan laboratorium-laboratorium yang ada, salah satunya dengan dukungan dan support fasilitas laboratorium di ITS baik itu di departemen maupun laboratorium bersama,” pungkasnya.