Berkarib Kebisingan Jalanan Wonokromo, Kisah Kakek 3 Cucu Selama 46 Tahun Tekuni Reparasi Jam Tangan
Deru mesin kendaraan bertalu-talu yang melintas berkelebatan di depan lapak reparasi jam tangan milik Arif (64) di bahu Jalan Wonokromo, Wonokromo
Penulis: Luhur Pambudi | Editor: Januar
Kemampuan mengutak-atik perangkat jam tangan itu diperolehnya, secara otodidak.
Kegemarannya membongkar dan merakit komponen-komponen mesin sejak masih tinggal di Bangkalan, tak menyulitkan Arif belajar sedikit demi sedikit mengenal konsep sistem mesin jam tangan yang mungil.
Karena ketekunannya selama puluhan tahun menggeluti jasa reparasi jam tangan, membuat Arif mampu memperbaiki segala jenis dan bentuk jam tangan.
Mulai dari jam tangan digital yang populer seperti sekarang, ataupun jam tangan manual model jadul yang pernah populer di zaman dahulu.
"Kalau manual, jarang bisa. Karena sekarang otomatis. Anak-anak (tukang jam) sekarang jarang bisa. Spesialis jam manual," tuturnya.
Proses reparasi jam tangan model lawas tipe manual, memang diakui Arif, membutuhkan perlakuan, dan sentuhan perkakas alat khusus untuk mereparasinya.
Kalau ada pelanggan membawa jam tangan jadul untuk diperbaiki. Biasanya ia menyarankan pada mereka untuk bersabar menunggu, paling lama sehari, agar Arif bisa memperbaikinya di rumahnya, beralamat di Jalan Pulo Wonokromo, yang tak jauh dari lapaknya.
"Yang manual digarap di rumah.
Kalau (reparasi) batrei aja disini (lapak) bisa. Baterei habis, IC-nya (integrated circuit) mati, dibelikan, diganti, bisa," jelasnya.
Entah karena memang sudah melekat di hati, atau karena hanya Arif tukang reparasi yang mahir memperbaiki jam tangan manual.
Sampai saat ini ia terbilang masih sering menjadi tempat rujukan untuk mereparasi jam tangan jadul, oleh pelanggan-pelanggannya yang sudah mengenal Arif sejak tahun 80-an dan 90-an.
"Iya pelanggan lama, yang dulu-dulu.
Iya masih ingat, masih ada," ungkapnya.
Tinggal di Wonokromo, Surabaya sejak remaja hingga berkeluarga, dan menjadi kakek-kakek, membuat Arif sebagai saksi sejarah pembangunan kota di wilayah selatan.
Bahkan, ia mengaku masih ingat suasana kawasan Wonokromo yang saat itu masih menjadi sentra pemerintahan dan ekonomi Kota Surabaya.
Arif masih ingat betul, bahwa jalanan Wonokromo masih berupa satu lajur. Kemudian, sebagai penerangan jalannya, saat itu masih terdapat lampu gantung.
Kemudian di sisi kanan dan kiri jalan sempit itu, yang kini makin lebar karena sudah menjadi frontage, seingat Arif terdapat bangunan rumah toko (ruko) dan perkantoran.