Ini Pesan Orang Tua Gus Baha Kepadanya, Gus Baha Pegang Pesan itu Sampai Sekarang
Kita ketahui, Pengajian KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha sudah banyak tersebar di sosial media Whatsapp, Facebook, Twitter, Youtube, Google,
Penulis: Yoni Iskandar | Editor: Yoni Iskandar
Alasan kedua menurut Gus Baha, dengan mengutip hadis yang termaktub dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, karya Imam al-Ghazali. Rasulullah bersabda, “Sungguh, termasuk umat terbaikku adalah kaum yang tertawa keras (yadlhakuna jahran), karena percaya terhadap luasnya rahmat Allah (min sa’ati rahmatihi).
Berdasarkan hadis tersebut, lanjut Gus Baha, mayoritas ulama-ulama dahulu selalu bercanda, kelakar, santai, rileks, guyon dan tertawa.
"Ini semua mereka lakukan sebagai ekspresi atas kebahagiaan dan ridla terhadap pemberian Allah," tuturnya.
Gus Baha tidak menafikkan adanya potongan hadis selanjutnya. Kalimat wa yabkuna sirran (menangis secara sembunyi), diinterpretasikan Gus Baha agar kita menangis pada malam hari ketika kita sedang ber-munajat pada Allah.
Derai dan linang air mata di kesunyian malam tersebut sebagai bentuk ekspresi rasa takut pada siksa Allah (khaufan min azabihi). Namun anehnya, perilaku orang-orang sekarang justru mempertontonkan sebaliknya.
“Jangan seperti perilaku orang-orang sekarang yang tampil sebaliknya. Mereka menangis di hadapan publik, namun ketika diberi uang, ia akan tertawa di kamar sendirian. Wahh…kalau begitu, orang ini bermasalah secara sanad. Ini tidak menyindir siapa-siapa ya… biasa saja," kata Gus Baha.
Berdasar tradisi sahabat. kata Gus Baha, sekalipun pernah terjadi konflik di era Sahabat Ali dengan Mu’awiyah, namun hebatnya tidak membuat para sahabat larut dalam kesedihan yang begitu mendalam. Mereka tetap bercanda ria, tertawa dan goyun.
Realitas ini berdasarkan pernyataan sahabat, “Yang paling aku sukai dari orang alim itu adalah ceria (thaliqin) dan banyak guyon (midlhakin)”. Berdasar tradisi tersebut, maka tugas kiai atau dai, harus tampil ceria dan tidak menakut-nakuti.
Terakhir kata Gus Baha berdasar tradisi tabi’in. Pendapat Ibnu Hajar al-‘Asqalani, bahwa, “senang itu adalah ibadah dan puncak keimanan adalah mansinya iman (halawatal iman)”.