Sejarah Masjid Al Badri Sidoarjo, Dibangun Oleh Keturunan Jaka Tingkir, Sebarkan Islam Dengan Damai
Panasnya matahari hari ini, Sabtu (10/4/21) tak menyurutkan niat para masyarakat daerah Tawangsari Sidoarjo mengunjungi Masjid Al Badri Sidoarjo
Penulis: Fikri Firmansyah | Editor: Ndaru Wijayanto
Reporter: Fikri Firmansyah I Editor: Ndaru Wijayanto
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Panasnya matahari hari ini, Sabtu (10/4/21) tak menyurutkan niat para masyarakat daerah Tawangsari Sidoarjo mengunjungi Masjid Al Badri untuk menunaikan ibadah salat asar secara berjamaah.
Masjid Al Badri Sidoarjo tiap harinya memang tak pernah sepi para jemaah.
Para jemaah yang datang tidak hanya berasal dari warga desa Tawangsari dan Kecamatan Taman Sidoarjo saja.
Banyak juga para musafir (orang yang melakukan perjalanan jauh) yang tengah lewat daerah Tawangsari juga kerap memilih Masjid Al Badri sebagai tempat ibadah, khususnya ketika memasuki waktu salat.
Saat tiba musim Ramadan seperti Ramadan 2021 nanti, khususnya ketika dipakai salat tarawih berjamaah maupun idul fitri. Masjid ini mampu menampung 1000 jemaah.
Itu karena, masjid ini berdiri diatas tanah seluas 625 m2.
Selepas itu semua, masjid ini memiliki usia yang sangat tua serta punya sejarah panjang dalam keikutsertaan mengambil peran untuk menyebarkan ajaran Islam di tanah air.
Hal tersebut dikatakan langsung oleh salah satu Imam Besar Masjid Al Badri Sidoarjo, Abdullah Habib.
"Masjid ini usianya sudah sekitar 161 tahun, karena berdirinya antara kisaran 1850an dan 1860an," kata Imam Besar Masjid Al Badri yang akrab disapa Abah Habib jtu kepada TribunJatim.com, Sabtu (10/4/21).
Sudah berumur diatas 160 tahun, kata dia, pendiri masjid ini adalah KH. Raden Mas Abdul Wahab Bin Abdullah Joyorogo.
Bahkan, nasab KH. Raden Mas Abdul Wahab sendiri juga merujuk hingga sampai ke Jaka Tingkir atau Mas Karebet yang merupakan pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Pajang yang memerintah tahun 1549-1582 dengan nama Sultan Hadiwijaya.
"Urutannya adalah KH. Raden Mas Abdul Wahab Bin Abdullah Joyorogo Bin KH Arfiyah Bin Kyai Jamaluddin Bin Pangeran Sambu Bin Pangeran Bunawa Bin Jaka Tingkir atau Pangeran Mas Karebet," jelas Abah Habib.
Abah Habib yang merupakan keturunan keturunan kelima dari KH. Raden Mas Abdul Wahab juga mengatakan, pada masa kedatangannya dan kepemimpinannya, daerah Tawangsari masih mayoritas memeluk agama Hindu-Budha, dan negara Indonesia dalam masa penjajahan Belanda.
Ia menceritakan, dalam mengajarkan dan menyebarkan agama islam diwilayah Tawangsari, KH. Raden Mas Abdul Wahab banyak menemui rintangan yang sulit.