Kalapas I Surabaya Harap Masyarakat Tetap Peduli Setelah Eks Napiter Bebas: Agar Tidak Kambuh Lagi
tercatat enam orang narapidana teroris (Napiter) menghuni blok khusus di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) I Surabaya di Porong, Sidoarjo, Jatim.
Penulis: Luhur Pambudi | Editor: Ndaru Wijayanto
Reporter: Luhur Pambudi I Editor: Ndaru Wijayanto
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Sedikitnya tercatat enam orang narapidana teroris (Napiter) menghuni blok khusus di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) I Surabaya di Porong, Sidoarjo, Jatim.
Jumlah tersebut merupakan data terbaru yang dihimpun oleh Divisi Bimbingan Kemasyarakatan (Bimas) Lapas I Surabaya, hingga Selasa (30/3/2021) kemarin.
Beberapa pekan sebelumnya, ada dua orang napiter yang telah dibebaskan setelah menjalani masa rehabilitasi pemasyarakatan. Informasinya, terdapat 36 napiter yang sedang menjalani program deradikalisasi di 15 lapas yang ada di Jatim.
Kepala Lapas I Surabaya di Porong, Sidoarjo, Jatim, Gun Gun Gunawan mengatakan, pihaknya menampung napiter terbanyak di Jatim.
Beberapa waktu lalu, pihaknya menampung lebih dari 20 orang napiter. Sebagian dari mereka ada juga yang baru dipindah dari lapas yang terdapat di Cikeas, Bogor, Jabar.
Setelah menjalani serangkaian progam deradikalisasi dan bebas dari masa tahanan. Jumlah napiter di sana berangsur-angsur menurun jumlahnya.
"Itu sudah NKRI semua dan sudah melewati program deradikalisasi," katanya dalam wawancara eksklusif liputan khusus (Lipsus), di Lapas I Surabaya di Porong, Sidoarjo, Jatim, Selasa (30/3/2021).
Tak semua napiter itu bebas dengan perubahan; taubat dan kembali mengucap janji setia terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Gun Gun mencatat, ada dua orang napiter terpaksa dipindahkan dari Lapas I Surabaya ke lapas di provinsi lain.
Pasalnya, program deradikalisasi lapas belum berhasil menyadarkan kedua orang napiter tersebut, untuk menyadari kekeliruan berfikirnya, lalu kembali menyatakan setia terhadap NKRI.
Sebagai bentuk antisipasi terhadap potensi dua orang napiter tersebut mempengaruhi napiter, atau pun napi kasus kejahatan lainnya. Terpaksa, keduanya dipindahkan ke lapas di provinsi lain.
"Agak sulit bagi seniornya atau napiter lain, maupun dari petugas; pamongnya juga kesulitan. Makanya kami pindahkan tempat untuk dibina," terangnya.
Blok hunian lapas khusus napiter di Lapas I Surabaya di Porong, Sidoarjo berkapasitas 40 orang. Para penghuni telah diagendakan mengikuti sejumlah kegiatan pembinaan kepribadian dan kemandirian.
Gun Gun menerangkan, setiap napiter yang baru datang, diakuinya masih memunculkan sikap dan perilaku yang terbilang ekslusif.
Cenderung gemar menyendiri. Terkadang memang enggan mengikuti agenda kegiatan pembinaan. Bahkan ada pula yang berinisiatif membuat kegiatan sendiri tanpa sepengetahuan pihak sipir penjaga.
"Kebanyakan diam. Kalau yang frontal itu bisa dikatakan itu tidak ada," ujarnya.
Kebanyakan napiter yang menghuni lapas yang dipimpinnya itu sembuh atau bertaubat, setelah menjalani serangkaian program deradikalisasi sejak awal masuk hingga masa pemasyarakatannya rampung. Termasuk mereka yang divonis harus menghuni lapas, seumur hidup.
Bagi Gun Gun, tidak bisa memperlakukan para napiter dengan napi kejahatan biasa. Pemikiran radikalisme ekstremisme yang terlanjur terpatri kuat dalam konstruk berfikir mereka, tak mudah diintervensi dengan pendekatan konvensional.
Atas dasar itulah, para sipir yang bertugas khusus membimbing napiter, perlu membekali diri dengan kemampuan persuasif yang ampuh.
"Napiter itu berangkat dari sebuah ideologi yang sangat kuat. Jadi kami perlu kehati-hatian. Itu unik. Kalau kita tidak bisa (menyesuaikan) pasti saat berbeda pendapat, pasti bentrok," ungkapnya.
Dalam program deradikalisasi, napiter juga dibina dalam aspek kemandirian. Gun Gun menerangkan, para napiter juga diajak melakukan kegiatan lain seperti berolahraga, bercocok tanah, dan berternak.
Tujuannya agar memiliki bekal keterampilan yang dapat diberdayakan pascabebas dari masa pemasyarakatan di dalam lapas.
"Jadi saat keluar (bebas penjara), bagi teman-teman (napiter) bisa dijadikan andalan (kehidupan ekonomi) untuk hidup lebih semangat lagi," jelasnya.
Terhadap mantan napiter selepas rampung menjalani masa pemasyarakatan dan dinyatakan bebas dari lapas. Gun Gun berharap masyarakat lebih peduli terhadap mereka.
Peduli dari aspek penerimaan sosial ditengah masyarakat tempatnya tinggal. Seperti pemangku pemerintahan setempat, mulai dari tingkat RT, RW, kelurahan dan kecamatan.
Atau aspek penerimaan secara fungsional dari segi profesionalisme di dunia kerja. Seperti peluang bekerja di perusahaan secara profesional berdasarkan keterampilan kerja yang dimiliki oleh mantan napiter.
"Semua stakeholder harus menyentuh mereka di luar. Yang punya perusahaan, kepercayaannya agar mereka bisa melamar kerja. Karena di sini mereka dilatih, dalam sebuah pelatihan mendapat sertifikat," terangnya.
Hal tersebut sangat penting, menurut Gun Gun, manakala mantan napiter yang telah menyatakan diri kembali mencintai NKRI dan menerima konsekuensi untuk menjalankan segenap kewajiban sebagai warga negara Indonesia.
Namun secara sosial masih saja mendera stigmatisasi akan masa lalu sehingga berpotensi melumpuhkan kemandirian sosial dan ekonomi.
Kondisi semacam itu, diprediksi kuat menyebabkan para mantan napiter kembali lagi mengakses jaringan sosial masyarakat kelompok terornya terdahulu, sebagai bentuk kompensasi rasa kesal karena terus ditolak oleh lingkungan organik sosial tempat dirinya tinggal.
"Harapan kami, masyarakat semua mengkaji (menerima) mereka supaya mereka tidak putus asa di luar, biar mereka tidak ikut lagi (gabung kelompok teror)," pungkasnya.