Berita Viral
Berawal dari Jual Becak, Nasib Koruptor Legendaris Masih Buron, Kini Lebih Parah dari Setya Novanto
Ternyata inilah sosok koruptor yang tingkahnya lebih parah dari Setya Novanto, hingga kini kabarnya masih jadi buronan.
Penulis: Ignatia | Editor: Arie Noer Rachmawati
TRIBUNJATIM.COM - Padahal karirnya berawal dari berjualan becak, ternyata nasib koruptor legendaris ini lebih parah dari Setya Novanto.
Hingga saat ini, sosok koruptor legendaris tersebut masih buron.
Bicara seputar kasus korupsi di Indonesia seolah menjadi hal yang biasa menghadapi para pejabat yang aksi korupsinya tak tanggung-tanggung.
Meski mengawali usaha dari berjualan becak saja, ternyata tetap tak menjamin seseorang terhindarkan dari praktik korupsi.
Siapakah sosok koruptor legendaris tersebut?
Baca juga: Kisah Penggerebakan Rumah Koruptor, Pintu Rahasia Dibuka Polisi: Gunung Emas & Rp 525 T Berserakan
Anda sebaiknya harus mengenal Eddy Tansil.
Telinga aparat penegak hukum Indonesia pastilah panas jika mendengar nama Eddy Tansil.
Dikutip TribunJatim.com dari Sosok.ID, mantan juragan becak ini bahkan disemati dengan gelar sensasional tapi memalukan yakni Koruptor Legendaris Indonesia.

Eddy Tansil sendiri adalah buronan sepanjang masa bagi Indonesia karena kasus korupsinya tahun 1994.
Kasus korupsinya bahkan disinyalir lebih parah ketimbang kasus korupsi yang pernah terjadi pada Setya Novanto.
Eddy Tansil sebenarnya memulai usahanya dari berjualan barang yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.
Diawali dari pendirian perusahaan yang ia rintis sejak dahulu.
Saat itu Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) memberikan kredit ke perusahaan Golden Key Gold (GKG) milik Eddy Tansil sebesar 565 juta Dolar AS atau Rp 1,3 triliun.
Tahun 1996 angka Rp 1,3 triliun terbilang sangat besar lantaran harga beras sekilo saja masih seribu rupiah dan UMR Indonesia kala itu hanya Rp 36.000.
Baca juga: Nasib Artis Lama Hilang Pasca Terima Dana Korupsi Pejabat, Mulai Tobat? Kini Kerja Malam Demi Makan
Maka jika di kurs kan saat ini, korupsi Eddy Tansil mencapai Rp. 7,9 triliun.