Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Sidoarjo

Menengok Kawasan Kota Tua Sidoarjo, Banyak Bangunan Tua yang Masih Terawat

Kota ini dulunya bernama Sidokare, bagian dari Surabaya. Sampai tahun 1859 Kadipaten Surabaya dibagi dua oleh Pemerintah Hindia Belanda, Kabupaten

Penulis: M Taufik | Editor: Januar
TribunJatim.com/ M Taufik
Suasana Kota Tua di Sidoarjo 

Laporan wartawan Tribun Jatim Network, M Taufik

TRIBUNJATIM.COM, SIDOARJO - Kota ini dulunya bernama Sidokare, bagian dari Surabaya. Sampai tahun 1859 Kadipaten Surabaya dibagi dua oleh Pemerintah Hindia Belanda, Kabupaten Surabaya dan Kabupaten Sidokare.

Karena nama Sidokare dianggap memiliki konotasi yang kurang baik, oleh Bupati Pertama Sidoarjo R.T.P Tjokronegoro diusulkan perubahan nama baru jadi Sidoarjo.

Penetapan perubahan itu tertuang dalam surat keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 28 Mei 1859 No 10 Staadblad Tahun 1859 Nomor 32.

“Dokumen staadblad itu sampai sekarang masih ada. Tersimpan di Kantor Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Sidoarjo,” kata M Wildan, Plt Kabid Pengelolaan Informasi dan Komunikasi Publik Dinas Kominfo Sidoarjo, Jum'at (8/4/2022).

Baca juga: Dua Tahun DPO, Tersangka Korupsi Ditangkap di Kalimatan, Langsung Digiring ke Lapas

Bupati Pertama Sidoarjo Raden Notopuro yang bergelar Raden Tumenggung Panji (R.T.P) Tjokronegoro I bertempat tinggal di kampung Pandean kelurahan Kauman, Kecamatan Sidoarjo.

Di kawasan kota tua ini, Tjokronegoro tinggal bersama keluarganya. Tahun 1859, kawasan Pandean menjadi tempat pusatnya perdagangan dan pemerintahan selama kurang lebih tiga tahun.

Sampai sekira tahun 1862 Bupati Tjokronegoro memindahkan pusat pemerintahan ke kampung Wates, Kelurahan Pucang.

Menurut cerita masyarakat sekitar, Bupati Tjokronegoro tinggal di rumah yang lokasinya berada di pinggir Jalan Raya Gajah Mada, menghadap ke arah timur.

Ada beberapa sumber yang menyebut, Toko Kain BIMA adalah bekas rumah dinas Bupati Pertama Kabupaten Sidoarjo R.T.P Tjokronegoro I.

“Bangunan itu sampai sekarang masih ada dan masih terjaga keasliannya,” kata Wildan.

Kampung ini sekarang dikenal dengan kuliner Kolak Srikaya yang rasanya manis dan hanya bisa dijumpai di bulan Ramadan saja.

Setiap sore selama Ramadan, kuliner khas ini biasa diburu warga untuk takjil. Utamanya mereka yang sedang ngabuburit di kawasan Kota Lama Sidoarjo.

Bangunan-bangunan tua di kampung Pandean rata-rata bergaya kolonial Belanda. Menjadi daya tarik anak-anak muda yang hobi fotografi. Spotnya keren.

Di kawasan itu memang banyak dijumpai bangunan-bangunan kuno yang yang usianya bahkan ada yang lebih dari 300 tahun. Seperti, Masjid Jami Al Abror yang dibangun pada tahun 1678. Jika dihitung, salah satu masjid paling tua di Sidoarjo itu sekarang sudah berusia 344 Tahun.

Masjid yang tidak pernah sepi dari aktivitas dakwah ini sudah mengalami beberapa kali renovasi dan masih menyisakan warisan sejarah dan budaya berupa gapura kuno yang berfungsi sebagai pintu masuk masjid di sisi sebelah utara.

Berdirinya Masjid Al Abror tidak bisa lepas dari keberadaan Mbah Muljadi, seorang tokoh ulama dari Demak, Jawa Tengah yang diyakini warga sekitar merupakan pendiri Masjid Al Abror.

Dalam pembangunannya, Mbah Muljadi dibantu tiga orang warga sekitar, yakni Mbah Sayyid Salim, Mbah Musa dan Mbah Badriyah.

Empat tokoh itu dimakamkan di sebelah baratnya Masjid Jami Al Abror. Menjelang ramadhan masyarakat sekitar banyak yang berziarah ke makamnya.

Selain seorang ulama, Mbah Muljadi juga diyakini merupakan orang pertama yang mengajarkan pembuatan batik tulis kepada warga Kampung Jetis Kelurahan Lemah Putro.

Batik tulis Jetis diperkirakan mulai ada sekitar tahun 1675, usianya sudah 347 tahun, lebih tua dari usia masjid Jami Al Abror. Di kampung ini masih banyak dijumpai bangunan-bangunan kuno yang usianya diperkirakan lebih dari 1 abad.

Tahun 2013, Mahasiswa Program Magister Sipil Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang, yakni Rifky Aldilan bersama dengan dua kawannya, Antariksa dan Chistia Meidiana meneliti bangunan-bangunan kuno yang berdiri di sepanjang Jalan Gajah Mada.

Dalam penelitian itu, Rifky membaginya dalam tiga kelompok bangunan kuno. Yakni kelompok bangunan kuno bernilai kultural potensial tinggi, sedang dan rendah.

Rifky dan kawannya mencatat ada 39 bangunan kuno di sepajang Jalan Gajah Mada Sidoarjo. Dari jumlah itu, terdapat 5 bangunan kuno bernilai kultural potensial tinggi yaitu Masjid Jami Al Abror, Toko Kain BIMA, Home Industri dan 2 Rumah Tinggal.

Kemudian, terdapat 10 bangunan kuno yang memiliki makna kultural potensial sedang, yaitu Toko Jam Cahaya Terang, Toko Sami Hasil, Mebel Lancar, Toko Rejo, Toko Pakaian dan beberapa bangunan kosong.

Sisanya sebanyak 24 bangunan masuk dalam kelompok kultural potensial rendah. Diantaranya, Toko Lambang Jaya, Toko Gajah Mada Gordyn, Toko Mia Ayam Chandra, Apotek Pangestu, Apotek Sidoarjo, Optik Internasional, Toko Air Mancur, Bengkel Garuda, Pusat Gadai, Toko Sumber Jaya dan lainnya rumah tinggal dan bangunan kosong.

Selain di sepanjang Jalan Gajah Mada, bangunan kuno juga banyak dijumpai di sepanjang Jalan Sisingamangaraja, Jalan Hang Tuah dan Jalan Raden Patah.

Diperkirakan ada ratusan bangunan kuno yang tersebar di kawasan kota tua ini. Penanda bahwa tempat itu memang pernah menjadi pusat bisnis dan pemerintahan sejak jaman dulu.(ufi)

Kumpulan berita Sidoarjo terkini

Sumber: Tribun Jatim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved