Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Banyuwangi

Pembudidaya Lobster di Banyuwangi Keluhkan Sulit dan Mahalnya Benur untuk Dibudidayakan

Pembudidaya lobster di Kabupaten Banyuwangi mengeluh kesulitan mendapat bibit lobster atau benur.

Penulis: Aflahul Abidin | Editor: Sudarma Adi
TRIBUNJATIM.COM/AFLAHUL ABIDIN
Keramba dasar yang dipasang di perairan di Kampung Lobster untuk budidaya. 

Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, Aflahul Abidin

TRIBUNJATIM.COM, BANYUWANGI -  Pembudidaya lobster di Kabupaten Banyuwangi mengeluh kesulitan mendapat bibit lobster atau benur.

Selain itu, harga benur juga disebut relatif mahal. Hal ini membuat upaya budidaya kesulitan.

Chandra Astan, pemilik tempat budidaya lobster di Kampung Lobster, Desa Basring, Kecamatan Wongsorejo, mengatakan, sulit dan mahalnya benur dirasakan sejak tahun terakhir.

Baca juga: Polisi Sebut Korban Kekerasan Seksual Ayah Tiri di Banyuwangi Harus Didampingi: Jaga Psikologis

Lebih tepatnya, sejak larangan ekspor benur diberlakukan.

Menurut dia, larangan tersebut membuat pasar gelap jual-beli benur menjadi marak.

Hal itu, lanjut Chandra, dibuktikan dengan beberapa kali kepolisian mengungkap penyelundupan benur yang dilakukan secara ilegal.

Baca juga: Pria Banyuwangi Bawa Kabur Mobil Lalu Tinggalkan di Pinggir Jalan 5 Hari, Bermula Kecurigaan Warga

Adanya pasar gelap itu, menurut Chandra, membuat harga bibit lobster jauh lebih mahal.

Hal ini membuat para pencari benur lebih memilih untuk menjual tangkapannya ke pasar gelap ketimbang ke pembudidaya lokal.

"Harganya sekarang 20 ribu per ekor. Sama dengan benih lobster muda yang beratnya 50-100 gram. Tapi benih lobster muda yang ukurannya besar juga susah dicari," kata dia.

Baca juga: Pembunuhan Wanita di Banyuwangi, Bermula dari Aplikasi Kencan, Berakhir Jasad Mengapung di Sungai

Sementara, menurut dia, harga normal benur ada di kisaran Rp 5 ribu per ekor.

Harga itu, menurut dia, memberatkan para pembudidaya.

Apalagi, tingkat kehidupan benur juga tak bisa menyentuh 100 persen.

"Kalau di sini sekitar 70 persen. Dan itu sudah bagus. Rata-rata pembudidaya sekitar 50 persen," lanjutnya.

Chandra berharap, pemerintah ikut turun tangan dalam mengatasi masalah tersebut.

Sebab jika tidak, pembudidayaan lobster di Indonesia bisa gulung tikar.

Bagi dia, salah satu solusi untuk mengatasi langka dan mahalnya bibit lonster adalah dengan membuka kembali kran ekspor.

Dengan begitu, pasar bisa bersaing dengan lebih sehat.

"Kecuali bisa memastikan bahwa jual-beli benur ilegal benar-benar tidak ada. Tapi kenyataannya, itu sulit," lanjut dia.

Pemerhati industri perikanan Erzaldi Rosman Djohan sempat mendatangi Kampung Lobster untuk menilik pembudidayaan di sana.

Erzaldi mengamini apa yang disampaikan oleh Chandra. Menurut dia, membuka kran eskpor benur membuat persaingan menjadi lebih baik.

"Karena kita juga bersaing dengan pembudidayaan lobster yang ada di Vietnam. Di sana kalau mau mengirim ke Cina, biayanya lebih rendah ketimbang dari Indonesia," lanjut dia.

Hanya saja, ekspor benur juga harus diatur dan diawasi secara ketat. Ia mengusulkan agar hanya pembudidaya lobster yang diizinkan untuk mengekspor benur.

Dengan demikian, menurut dia, proses pengawasan bisa lebih mudah. 

"Selain itu, perlu juga adanya riset-riset yang lebih mendalam soal budidaya lobster. Sehingga tidak kalah dengan negara lain," tutur dia.

Sumber: Tribun Jatim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved