Hikmah Ramadan
Saat Lebaran Berbeda
Apa yang akan Anda lakukan jika lebaran berbeda? Pertanyaan ini tetap saja terasa penting sebagai alat uji respon bersama terhadap perbedaan meskipun
Oleh: Akh. Muzakki
Sekretaris Umum MUI Provinsi Jawa Timur,
Rektor dan Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya
TRIBUNJATIM.COM - Apa yang akan Anda lakukan jika lebaran berbeda? Pertanyaan ini tetap saja terasa penting sebagai alat uji respon bersama terhadap perbedaan meskipun lebaran berbeda hari memang bukan sesuatu yang baru.
Seiring dengan lebaran beda hari yang potensial berulang dalam sejarah Muslim di Indonesia, pertanyaan ini terus penting dijaidkan sebagai bahan refleksi bersama.
“Saya akan ikut Muhammadiyah,” jawab orang pertama atas pertanyaan di atas. “Saya ikut NU saja,” begitu jawab orang kedua. Beda lagi jawaban orang ketiga: “Kalau saya, ngikut keputusan pemerintah saja.” Yang keempat beda pula: “Kalau saya sih, mana yang lebih dulu lebaran, itu yang akan saya ikuti.”
Ideologisme dan pragmatisme tampak masih cukup kuat menghiasai respon publik Muslim terhadap perbedaan hari lebaran. Nama lainnya adalah idul fitri.
Bagi yang cenderung ideologis, ketaatan kepada organisasi dan atau institusi yang menjadi afiliasi ideologisnya dipandang sangat penting.
NU dan Muhammadiyah adalah contoh kecil dari ideologi yang terinstitutionalisasi di negeri ini. Lainnya juga masih banyak, meskipun struktur dan skalanya kecil-kecil. Ideologi yang lebih mapan disebut dengan pemerintah. Respon mereka yang menjadikan NU atau Muhammadiyah atau pemerintah bisa dibaca sebagai representasi dari ideologisme.
Respon yang menyebut “mana yang lebih dulu yang akan diikuti”, seperti disebutkan oleh orang keempat di atas, bisa dibaca sebagai contoh konkret pragmatisme. Preferensi untuk segera mengakhiri puasa Ramadan adalah contoh konkret atas ekspresi pragmatisme.
Sikap ini tak memedulikan dari siapa, dari mana dan atau dari institusi ideologis apa keputusan berlebaran lebih dulu atas selainnya itu lahir. Yang penting, segera mengakhiri puasa dengan berlebaran. Titik. Itu sikapnya. Tak terpengaruh oleh ideologi apapun kecuali kepentingan praktis untuk segera berlebaran.
Berlebaran di atas ideologisme dan pragmatisme di atas sejatinya beririsan langsung dengan sikap dan kematangan diri terhadap fakta perbedaan.
Jika yang muncul adalah sikap yang menjadikan perbedaan sebagai ancaman, maka tindakan negatif mulai dari mengolok hingga menistakan akan menyeruak.
Intinya, akan lahir dari sikap ini tindak praktik yang menjaidkan perbedaan sebagai pintu masuk untuk memusuhi mereka yang berbeda itu.
Jika yang hadir adalah sikap yang menjadikan perbedaan sebagai potensi, maka akan lahir tindakan positif, mulai dari saling menenggang rasa hingga memperkuat harmoni di atas perbedaan yang ada.
Alih-alih dijadikan sebagai pemantik disharmoni, perbedaan justeru digelorakan untuk membangun harmoni sosial di antara sesama umat Muslim yang memang berbeda latar belakang sosiokultural dan preferensi keyakinan keagamaannya.
Dari bentangan sikap yang mungkin muncul secara melebar dan cenderung kontradiktif atas perbedaan di atas, pilihan positif tentu harus diambil. Ukurannya adalah nilai kebermanfaatan untuk kemaslahatan bersama (maslahah ‘ammah). Menghormati pasti positif, sedangkan mengolok sudah barang tentu negatif. Membangun harmoni sudah pasti positif, sedangkan memecah belah sudah barang tentu tindakan negatif.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.