Hikmah Ramadan
Marhaban ya Ramadan, Merajut Ukhuwah Menyambut Datangnya Bulan Penuh Berkah
Marhaban ya Ramadan, merajut ukhuwah menyambut datangnya bulan penuh berkah, refleksi spiritual dan sosial pasca Pemilu 2024.
Oleh: KH Moh Hasan Mutawakkil Alallah
(Ketua Umum MUI Jawa Timur)
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Pemilihan Umum (Pemilu) yang dilaksanakan secara serentak pada 14 Februari 2024 yang lalu, menyisakan berbagai macam persoalan yang masih diperdebatkan hingga saat ini.
Bergulirnya usulan hak angket yang diwacanakan oleh salah satu kandidat calon presiden yang tidak puas terhadap penyelenggaraan Pemilu 2024, ditindaklanjuti oleh partai politik pendukungnya dengan menggalang tanda tangan anggota parlemen untuk merealisasikan hak angket tersebut.
Di sisi yang lain, polarisasi dukungan terhadap kontestan pemilu membuat masyarakat rentan terhadap terjadinya gesekan yang dikhawatirkan berujung konflik horizontal. Inilah yang harus diantisipasi bersama-sama, terlebih lagi saat ini umat Islam Indonesia akan menyambut datangnya bulan suci Ramadan 1445 H, walaupun dalam masyarakat terjadi perbedaan juga dalam mengawalinya.
Sebagian masyarakat mengawali Ramadan pada hari Senin yang bertepatan dengan tanggal 11 Maret 2024 dan sebagian yang lain mengawali Ramadan pada hari Selasa tanggal 12 Maret 2024.
Perbedaan ini terjadi karena perbedaan kriteria yang digunakan di dalam menetukan awal bulan Ramadan dan mengakhirinya.
Untuk itu, perlu dipahami secara komprehensif, agar masyarakat dapat bijak di dalam menyikapi adanya perbedaan.
Di dalam menentukan awal bulan Ramadan, sebagian masyarakat kita menyandarkannya hanya kepada hitungan astronomis (hisab) dengan menggunakan kriteria wujudul hilal yaitu berapapun tinggi hilal (bulan di awal tahun) ketika matahari tenggelam (ghurub) asalkan menurut hitungan di atas ufuk, maka saat itu sudah masuk pada bulan baru.
Akan tetapi, sebagian masyarakat Indonesia yang lain setelah melakukan hitungan astronomis (hisab) dilanjutkan dengan melakukan pengamatan hilal atau yang sering disebut rukyatul hilal karena kreteria yang digunakan untuk menentukan awal bulan adalah imkanurukyah (visibilitas hilal) yang menurut kesepakatan para Menteri Agama dari Negara Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS) diputuskan bahwa hilal bisa dilihat dengan ketinggian minimal 3 derajat dengan sudut elongasi 6.4 derajat.
Baca juga: Ibu Hamil Tidak Puasa Ramadan, Bolehkah? ini Penjelasan PP Muhammadiyah Disertai Cara Ganti Puasa
Pada dasarnya, semua umat Islam mendasarkan pendapat dan keyakinannya di dalam mengawali dan mengakhiri Ramadan kepada perintah Allah SWT yang termaktub dalam Alquran dan Hadis Rasulullah SAW. Di antara firman Allah SWT yang menegaskan untuk melakukan penghitungan astronomis (hisab) adalah sebagaima yang termaktub dalam surat Yunus ayat 5 yang menegaskan:
"Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)."
Berdasarkan ayat di atas, maka metode hisab digunakan untuk menentukan waktu-waktu untuk melaksanakan ibadah, seperti waktu-waktu salat dan juga waktu untuk mengawali dan mengakhiri puasa Ramadan.
Penjelasan dan penegasan terkait waktu-waktu melaksanakan ibadah tersebut secara spesifik juga dijelaskan oleh Rasulullah SAW seperti penjelasan Rasulullah untuk mengawali puasa Ramadan dengan menegaskan:
"Berpuasalah kalian pada saat kalian telah melihatnya (bulan), dan berbukalah kalian juga di saat telah melihatnya (hilal bulan Syawal) Dan apabila tertutup mendung bagi kalian, maka genapkanlah bulan Syaban menjadi 30 hari." (HR Bukhari: 1776 dan Imam Muslim 5/354)
Penegasan Rasulullah SAW sebagaimana riwayat hadis di atas apabila dikaitkan dengan konteks saat ini yang posisi hilal pada tanggal 29 Syaban 1445 ketika matahari tenggelam dalam hitungan hisab berada pada ketinggian kurang dari satu derajat, maka menyempurnakan bulan Syaban 1445 H menjadi 30 hari merupakan argumen yang menjadi dasar bagi masyarakat yang menggunakan kriteria imkanurukyah, termasuk penetapan atau isbat yang dilakukan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.