Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Viral

Tak Punya Rumah, Udin Sekeluarga Tinggal di Toilet Umum Bekas Selama 5 Tahun, Kamar Tanpa Jendela

Kisah seorang pria tinggal di toilet umum selama 5 tahun bersama anak dan istrinya ini menjadi perhatian.

KOMPAS.com/DEFRIATNO NEKE
Udin, pria tinggal di toilet umum selama 5 tahun bersama anak dan istrinya. Ia berharap pemerintah membantunya memberikan tempat tinggal layak. 

TRIBUNJATIM.COM - Kisah seorang pria tinggal di toilet umum selama 5 tahun bersama anak dan istrinya ini menjadi perhatian.

Ia adalah Udin, warga Desa Kancinaa, Kecamatan Pasarwajo, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara.

Udin terpaksa tinggal di toilet umum yang sudah tak terpakai untuk berteduh karena tidak memiliki rumah.

“Tinggal di sini karena tidak ada rumah, tinggal sama orangtua juga susah, jadi ingin mandiri saja tinggal di sini,” kata Udin saat ditemui di tempat tinggalnya, Selasa (4/6/2024), dikutip dari Kompas.com.

Bila dilihat sepintas dari luar, toilet umum yang dibangun sekitar 2014 tersebut terlihat masih seperti bangunan yang dibangun pertama kali.

Dalam toilet itu terdapat tiga ruangan.

Namun saat masuk ke dalam ruangan, dua ruang di toilet diubah dan dindingnya dijebol dijadikan satu sehingga menjadi kamar.

Ukuran kamarnya pun sangat kecil dengan panjang 3 meter dan lebar hanya 1,5 meter tanpa jendela.

Kemudian di bagian atas pembatas toilet ditutup dengan tripleks sehingga dijadikan ruang utama.

“Anak-anak tidurnya di ruang utama ini. Kalau saya dan istri di dalam kamar,” katanya lagi.

Udin menjelaskan, sebelumnya, ia bersama anak dan istrinya tinggal di gubuk di tepi laut milik keluarganya.

Seorang pria, Udin, warga Desa Kancinaa, Kecamatan Pasarwajo, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, sudah lima tahun tinggal di water closed atau toilet umum bersama anak dan istrinya. Ia mengaku memilih tinggal di toilet umum karena tidak memiliki rumah.
Seorang pria, Udin, warga Desa Kancinaa, Kecamatan Pasarwajo, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, sudah lima tahun tinggal di water closed atau toilet umum bersama anak dan istrinya. Ia mengaku memilih tinggal di toilet umum karena tidak memiliki rumah. (KOMPAS.com/DEFRIATNO NEKE)

Namun karena rumahnya sudah mau roboh diterjang angin kencang, Udin yang saban harinya hanya bekerja sebagai buruh bangunan ini akhirnya memilih tinggal di toilet umum.

Apalagi toilet umum tersebut sudah lama tidak digunakan warga, karena semua warga sudah mempunyai toilet masing-masing dalam rumahnya.

“Jadi saya minta izin sama kepala desa untuk tinggal di sini (toilet), dan diizinkan dan lahan ini juga milik mertua,” ucapnya.

Selain sudah tinggal selama 5 tahun di toilet umum tersebut, Udin juga mengaku kesulitan karena ruangannya yang sempit.

Udin hanya berharap agar pemerintah dapat memberikan bantuan untuk tempat tinggal yang layak.

Baca juga: Beruntungnya Cecep Dapat Umrah Gratis Usai Bersihkan Toilet Masjid, Istri Ungkap Sifat Asli Suaminya

Sementara itu kisah lainnya, dua nenek bersaudara hidup dalam keterbatasan.

Dua nenek bersaudara ini tinggal di Desa Brakas Dajah, Desa Guluk-guluk, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur.

Nenek tersebut bernama Putriya (70) dan Hotipah (64).

Tempat tinggal mereka adalah sebuah gubuk reyot sebesar 7x7 meter dan hanya berlantai tanah.

Setiap malam, mereka tidur hanya beralaskan tikar. 

Tempat tidur mereka pun jadi satu dengan tempat memasak.

Selama puluhan tahun, mereka bertahan dalam keterbatasan di Desa Brakas Dajah, Desa Guluk-guluk, Kabupaten Sumenep.

Meski kondisi keduanya memprihatinkan, dua nenek itu luput dari perhatian pemerintah setempat.

Baca juga: Umur 7 Tahun Tak Bisa Jalan, Nadila Anak Pungut Pemulung Tinggali Gubuk Reyot, Ibu Nangis Tiap Hari

Nenek bersaudara itu mengaku tak pernah sekali pun menerima bantuan sosial (Bansos) baik dari pemerintah daerah Kabupaten Sumenep atau pun dari pemerintah pusat.

"Sejak dulu sampai sekarang saya tidak pernah mendapatkan bantuan (sosial) dari pemerintah. 

Biasanya bantuan dari warga sekitar," kata Hotipah di kediamannya, Senin (22/4/2024).

Derita nenek Hotipah dan Putriya berlanjut saat hujan datang. 

Atap gubuk reyotnya tak sanggup menahan air hingga menyebabkan kebocoran.

Keduanya selalu dihantui rasa khawatir atas ketahanan tempat tinggal yang mereka tempati.

Gubuk reyot berukuran 7x7 juga tak sempurna. 

Penyangga hingga dinding yang terbuat dari bambu terlihat bolong dan rapuh.

"Kalau angin kencang selalu khawatir takut roboh," kata dia.

Kendati hidup dalam keterbatasan, keduanya tetap menunjukkan ketabahan yang luar biasa. 

Baca juga: Tinggal di Gubuk Reyot, Mbah Hotipah & Putriya Tak Tersentuh Bansos, Takut Rumahnya Roboh: Tabah

Keduanya tetap berusaha bekerja semampunya untuk bisa bertahan hidup.

Mereka berdua harus mengandalkan bekerja sebagai buruh tani, yang upahnya sangat minim.

Bahkan, biasanya mereka hanya mendapatkannya jika ada warga yang membutuhkan bantuan di ladang.

"Kalau ada tentangga minta tolong agar sawahnya dibabat atau bantu memanen padi, saya bantu. 

Biasanya langsung dikasih upah," tuturnya.

Hotipah mengaku, ia hanya hidup berdua dengan Putriya. 

Anggota keluarga yang lain sudah meninggal dunia dan beberapa lagi memilih merantau ke luar daerah.

Mereka mengaku sudah lama tak saling bertukar kabar.

"Semoga pemerintah masih peduli dengan nasib orang-orang seperti kita," pungkasnya.

Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews Tribunjatim.com

Sumber: Tribun Sumsel
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved