Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Asal-usul Mitos Malam Satu Suro Tak Boleh Keluar Rumah di Kalangan Masyarakat Adat Jawa

Satu di antara larangan yang berkembang kuat dalam kultur masyarakat Jawa adalah tidak boleh keluar rumah di malam Satu Suro.

TRIBUN JOGJA/HASAN SAKRI GHOZALI
Sejumlah keluarga dan abdi dalem Pura Mangkunegaran melakukan kirab pusaka mengelilingi benteng di Kota Solo, Jawa Tengah, Senin (06/12/2010). Kirab tersebut diadakan untuk memperingati Malam Satu Suro, tahun baru penanggalan Jawa atau 1 Muharram 1432 Hijriah. 

TRIBUNJATIM.COM - Malam Satu Suro adalah malam yang menandai awal bulan pertama penanggalan Jawa.

Satu di antara larangan yang berkembang kuat dalam kultur masyarakat Jawa adalah tidak boleh keluar rumah.

Apa alasannya?

Perlu diketahui tahun ini, malam Satu Suro jatuh pada Sabtu (6/7/2024) malam.

Baca juga: 4 Larangan Malam 1 Suro yang Dipercaya Masyarakat Adat Jawa, Termasuk Tak Boleh Keluar Rumah

Mitos di balik malam satu Suro tidak boleh keluar rumah

Pemerhati budaya sekaligus Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS) Tundjung W Sutirto mengatakan, larangan keluar rumah pada malam satu Suro adalah mitos.

Menurutnya, masyarakat Jawa percaya malam satu Suro merupakan waktu yang sakral dan memiliki aura mistis, sehingga diwarnai beragam mitos, salah satunya tidak boleh keluar rumah.

"Kalau keluar rumah akan sial karena diyakini akan bertemu dengan pasukan dari Nyi Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan) yang tengah menuju ke keraton atau ke Gunung Merapi," kata Tundjung, dikutip dari pemberitaan Kompas.com (16/7/2023).

Selain larangan keluar rumah, mitos malam satu Suro yang menguat di kalangan masyarakat adalah tidak boleh menggelar pernikahan dan pindah rumah.

Ia menjelaskan, semua mitos malam satu Suro yang diyakini oleh masyarakat Jawa itu memiliki substansi berupa pengendalian diri.

"Semua mitos malem satu Suro adalah pantangan untuk bersenang-senang. Tuntunan yang diwarisi para leluhur adalah sebuah cipta, rasa, dan karsa, bagaimana terjadinya penanggalan Jawa yang merupakan penggabungan kalender Islam dengan Jawa (Hindu)," jelas dia.

Foto ilustrasi. Masyarakat di sejumlah daerah di Jawa menggelar berbagai tradisi dalam memperingati malam satu Suro.
Foto ilustrasi. Masyarakat di sejumlah daerah di Jawa menggelar berbagai tradisi dalam memperingati malam satu Suro. (Tribunnews)

Asal-usul mitos malam satu Suro tak boleh keluar rumah

Tundjung menerangkan, perkembangan mitos malam satu Suro tidak boleh keluar rumah terjadi secara akumulatif, sesuai konteks zamannya dan dianut oleh pemangku kebudayaan saat itu.

Dalam konteks mitos larangan keluar rumah saat malam satu Suro, mulanya berawal dari "penyakralan" masyarakat Jawa terkait penggabungan kalender Islam dan Jawa (Hindu) yang melatarbelakangi terjadinya malam satu Suro.

"Itu termasuk mitos yang menyakralkan pergantian tahun baru Jawa," ujarnya.

"Momentum penanggalan yang digaungkan itu diyakini sebuah momentum yang istimewa, sehingga masyarakat menganggap malam satu Suro sakral, karena adanya penggabungan itu akan menentukan perhitungan," lanjut dia.

Sifat malam satu Suro yang sakral itu membuat masyarakat Jawa sebagai pelaksana budaya, "meluhurkan" pergantian tahun dengan aktivitas spiritual.

Dengan begitu, muncul mitos untuk tidak boleh bepergian jauh tanpa tujuan, tidak menyelenggarakan pernikahan, tidak pindah rumah, dan tidak keluar rumah pada malam satu Suro.

"Kalau dicari mulai kapan, tentu sejak Sultan Agung menciptakan penggabungan kalender Saka dengan Islam yang dilakukan pada hari Jumat Legi, yaitu saat pergantian tahun baru Saka 1555 yang bertepatan dengan tahun baru Hijriah 1 Muharam 1043 H dan 8 Juli 1633 M," terang Tundjung.

Baca juga: Bacaan Doa Malam 1 Suro Pergantian Tahun Baru Islam 1446 Hijriyah, Disertai Terjemahannya

Bertentangan dengan tradisi keraton

Akan tetapi, mitos tidak boleh keluar rumah saat malam satu Suro itu justru bertolak belakang dengan tradisi yang keraton.

Pada malam satu Suro, keraton biasanya menggelar kirab di tengah malam, tepat pada 1 Muharram pukul 00.00 WIB.

Menurut Tundjung, tradisi tersebut berkaitan dengan perjanjian Abiproyo antara Panembahan Senopati (Raja Mataram) dengan Nyai Roro Kidul.

Disebutkan pada malam satu Suro, Nyai Roro Kidul akan membantu kerajaan Mataram melawan musuh.

Masyarakat Jawa yang bertandang ke keraton pada malam satu Suro, akan dianggap sebagai kawula Mataram yang akan dilindungi dari marabahaya.

Oleh sebab itu, beberapa kalangan masyarakat Jawa lebih menyarankan pergi ke keraton pada malam satu Suro daripada keluar rumah tanpa tujuan yang jelas.

Hingga saat ini, tradisi itu masih tetap eksis, salah satunya dilakukan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang menggelar Kirab Satu Suro pada malam satu Suro.

Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews Tribunjatim.com

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved