Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Pendidikan

AI Mengajar, Sastra Mati Perlahan

Di zaman yang serba instan, kecerdasan buatan (AI) hadir bak dewa baru dalam dunia pendidikan.

Editor: Samsul Arifin
Istimewa
Di zaman yang serba instan, kecerdasan buatan (AI) hadir bak dewa baru dalam dunia pendidikan. 

Oleh : Gaby Rostanawa

Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, STKIP Bina Insan Mandiri, Surabaya.

TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA -  Di zaman yang serba instan, kecerdasan buatan (AI) hadir bak dewa baru dalam dunia pendidikan.

Menawarkan kemudahan dan efisiensi yang menggiurkan. Sebut saja Natural Language Processing (NLP) membantu dalam memahami, menganalisis, dan menghasilkan teks yang kompleks.

Machine Learning (ML) memungkinkan analisis data literatur dalam skala besar, dan Generative AI, seperti yang digunakan untuk menulis atau menganalisis gaya penulisan, mampu menciptakan teks-teks baru berdasarkan pola yang dipelajari dari data sebelumnya. 

AI-driven language models seperti GPT yang mampu membantu menyusun narasi, puisi, dan esai dengan kecepatan dan presisi yang belum pernah ada sebelumnya.

Namun, di balik semua kecanggihan ini kita harus merenungkan esensi dari penggunaan AI dalam konteks pendidikan sastra. AI bisa menjadi alat yang sangat berguna dalam membantu analisis teks, menyusun ide, atau bahkan membantu memfasilitasi diskusi yang lebih mendalam.

Baca juga: Teknologi AI Permudah Fotografi Jurnalistik untuk Perkuat Narasi Berita

Tetapi, ketika AI mulai digunakan sebagai jalan pintas untuk menggantikan kerja keras dan proses kontemplatif yang seharusnya menjadi inti dari penciptaan dan pengajaran sastra, kita menghadapi masalah yang serius.

Faktanya, mulai terdapat oknum dikalangan pendidik seperti guru dan dosen yang tergoda oleh kemudahan ini. Mereka memilih menggunakan AI sebagai jalan pintas pengganti kreativitas. Mengabaikan proses mendalam yang sebenarnya esensial dalam memahami dan mengajarkan sastra.

Fenomena ini bagi saya adalah sebuah penghianatan terhadap hakikat pendidikan dan seni itu sendiri. Apalagi ketika seorang pendidik secara utuh mengandalkan AI untuk menyusun bahan ajar tanpa menyaringnya melalui proses refleksi dan interpretasi pribadi. Lalu apa yang terjadi? yang terjadi adalah dehumanisasi pendidikan. Mereka tidak lagi mendidik dengan hati melainkan hanya menyampaikan informasi tanpa makna.

Bagaimana mungkin kita berharap para siswa mampu memahami kedalaman sastra jika yang mereka terima hanyalah hasil kerja algoritma tanpa sentuhan manusia?

Sastra adalah cermin jiwa. Ia adalah suara yang datang dari kedalaman pengalaman manusia. Penuh dengan emosi, kegelisahan, dan keindahan yang lahir dari pergolakan batin.

Baca juga: Pemkab Gresik Manfaatkan Teknologi Kecerdasan AI dalam Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum

Ketika proses penciptaan sastra digantikan oleh AI, hasilnya mungkin terlihat sempurna di permukaan. Namun, dimana kedalaman itu? Dimana makna yang sesungguhnya? Hasilnya? seperti bunga plastik yang indah tapi tak beraroma.

Kita harus berani mengatakan bahwa tidak semua kemudahan itu baik. Ketika pendidik menggunakan AI karena tergerus oleh beban administrasi sehingga ingin menghemat waktu.

Sebenarnya sedang beralibi. Ini merupakan salah satu tindakan mengkhianati kepercayaan yang diberikan oleh siswa dan masyarakat kepada mereka. Apakah kita mau melahirkan generasi yang cerdas secara teknologi tapi hampa secara rohani dan intelektual? Tentu saja, tidak.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jatim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved