Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Viral

Nenek 80 Tahun Lemas Utang Rp 500 Ribu Jadi Rp 40 Juta, Rentenir Mendadak Pecah Sertifikat Tanahnya

Seorang nenek 80 tahun lemas utang Rp 500 ribu jadi Rp 40 juta. Bahkan sertifikat tanahnya kini dipecah oleh rentenir yang memberi utang.

Penulis: Ani Susanti | Editor: Mujib Anwar
Shutterstock/MuhsinRina
TERJERAT UTANG RENTENIR - Foto ilustrasi sertifikat tanah untuk berita nenek 80 tahun berinisial A di Desa Selembaran Jati, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten lemas utang Rp 500 ribu ke rentenir membengkak jadi Rp 40 juta. 

TRIBUNJATIM.COM - Seorang nenek 80 tahun lemas utang Rp 500 ribu jadi Rp 40 juta.

Bahkan sertifikat tanahnya kini dipecah oleh rentenir yang memberi utang.

Nenek 80 tahun itu adalah A, warga Desa Selembaran Jati, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten.

Kronologi masalah ini pun terungkap.

Keluarga A punya utang kepada rentenir dan tidak mampu bayar sehingga sertifikat lahannya disita sebagai jaminan.

Peristiwa itu bermula saat S, anak dari A terpaksa meminjam uang Rp 500.000 pada 2016 lalu untuk biaya berobat A yang tengah sakit. Uang itu dipinjam kepada seorang rentenir berinsial MR.

"Pinjaman Rp 500.000, bunganya Rp 100.000 per minggu, jadi tiap minggu S bayar bunganya saja, sementara pokoknya tetap, sampai satu waktu tidak punya uang untuk bayar dan bunga ditambahkan ke pokok utang, akhirnya nilai utang dan bunganya terus bertambah," kata D, kerabat dari keluarga A melalui sambungan telepon, Minggu (16/3/2025), melansir dari Kompas.com.

Hingga kemudian, pada tahun 2020, rentenir MR mengkonfirmasi ke S bahwa utang beserta bunganya telah membengkak menjadi Rp 20.000.000.

MR kemudian meminta kepada S untuk menyerahkan sertifikat lahan seluas 100 meter milik keluarga yang terdapat di samping rumahnya sebagai jaminan utang tersebut.

Baca juga: Pejabat Disdik Santai Pungut Dana BOS dari Kepsek 1 Kabupaten, Lesu saat Simpanan Rp 319 Juta Disita

Saat punya uang, suami S sempat berupaya untuk menebus sertifikat tanah itu melalui rentenir lain berinsial R tetapi ternyata sertifikat sudah berada di tangan CE yang merupakan bos MR dan R sehingga tidak bisa diambil.

Padahal R sudah diberi uang Rp 3.000.000 untuk mengambil sertifikat tersebut.

"Lebih parahnya lagi CE kemudian datang ke rumah dan bilang tanahnya akan diambil 40 meter, sertifikatnya akan dipecah," Kata dia.

CE beralasan sebidang lahan itu akan diambil karena utang S membengkak jadi Rp 40.000.000. Utang itu diakumulasikan dari utang S dan utang rentenir MR yang juga punya utang ke CE.

"Aneh banget kan, utang si MR malah dilimpahkan juga ke S," ujarnya.

Adapun uang Rp 3.000.000 sebelumnya diberikan ke R, dipakai oleh CE untuk biaya pecah sertifikat Rp 2.500.000.

Kini, bidang lahan seluas 40 meter sudah dimiliki oleh CE dan dibangun kontrakan di atasnya.

Baca juga: 8 Tahun Manajer HRD Santai Tilap Uang Kantor Rp 33 M, Buat 22 Karyawan Palsu Ketahuan karena 1 Nama

D mengaku geram dengan kasus itu yang menurutnya merupakan perampasan. Dia sudah mencoba berbagai upaya untuk mengembalikan hak lahan milik kerabatnya.

"Kemarin Alhamdulillah ada dari desa, camat dan anggota dewan datang, dikumpulkan para korban lain juga totalnya ada ratusan," kata D.

Ia berharap kasus ini dilirik oleh pemerintah kabupaten, bahkan pemerintah pusat karena dianggap meresahkan.

Sementara itu, anggota DPRD Kabupaten Tangerang yang datang ke lokasi, Chris Indra Wijaya mengatakan, akan mencari solusi terbaik dari permasalahan ini.

Menurutnya, kasus ini juga sudah dinformasikan ke Bupati dan Wakil Bupati Tangerang.

"Pemerintah kabupaten, baik desa, kecamatan, dan bupati harus hadir dalam menangani ini, ini sudah harus menjadi perhatian karena melibatkan ratusan bahkan ribuan warga terjerat rentenir," kata Chris.

Selain itu, Chris mendengar banyak warga yang mendapat intimidasi dan perampasan barang saat tidak membayar utang tersebut.

Lebih lanjut, Chris mengaku sudah berkonsultasi dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) untuk upaya hukum bagi para warga yang menjadi korban.

Sebelumnya, seorang anak yatim bernama Saiful Arifin (21) bingung mendadak punya utang KUR Rp 100 juta.

Warga Desa Sumbergading, Kecamatan Sumberwringin, Kabupaten Bondowoso ini pun ogah dan tak sanggup membayarnya.

Sejak usia 8 tahun, Saiful hidup dengan ibu dan neneknya.

Nenek dan ibunya pun tentu ikut syok mengetahui soal utang tersebut.

Semua berawal pada Februari 2024.

Saiful mendapat Rp 1 juta yang disebut seseorang bantuan dari pemerintah.

Itulah awal ia bisa menjadi punya utang di salah satu bank plat merah.

Uang Rp 1 juta yang ia dapatkan kala itu digunakan untuk membayar ngontrak rumah berukuran 3x5 meter dengan biaya Rp 450 ribu per tahun. 

Rumahnya ditinggali enam anggota keluarga, ibu, nenek,ponakan, dan istri yang baru dinikahinya.

Baca juga: Saiful Anak Yatim Ogah Bayar Utang KUR Rp 100 Juta karena Tak Merasa Pinjam, 6 Orang Bernasib Sama

Sebagai tulang punggung keluarga, pendapatan yang dimiliki Arifin dari kerja beternak ayam ikut orang hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. 

Baik, untuk makan, beli token listrik, hingga kebutuhan lainnya.

Ia mengaku semua kenikmatan untuk keluarganya berubah seperti mimpi buruk di siang bolong.

Saat dirinya hendak kredit sepeda motor ditolak oleh dealer, lantaran di BI Checking, ada namanya yang tercatat memiliki pinjaman Rp 100 juta di perbankan.

Lantas, ia tak langsung menceritakan kejadian ini pada keluarga.

Namun, pada awal Januari 2025, keluarga pun akhirnya tahu juga.

Dua petugas bank datang ke rumahnya, meminta tanda tangan.

Di dalam dokumen tertulis, terkait pinjaman Rp 100 juta.

Ibunya nyaris pingsan, neneknya yang sudah sakit-sakitan di atas kasur dan istrinya menangis tak henti.

"Bagaimana mau pinjam Rp 100 juta. Apa yang mau dibayarkan. Untuk makan saja pendapatan saya ngepas," cerita pemuda 21 tahun itu.

Baca juga: Terlanjur Senang Dapat Curian untuk Bayar Utang, Maling ini Malah Ngedumel Tahu Cuma Dapat Rp 30.000

Dia sendiri menolak menandatangani itu, karena merasa tak pernah melakukan proses pinjam di perbankan. 

Namun, tetap saja dia ketakutan dan berusaha mencari jalan keluar bersama pemuda lainnya yang bernasib sama.

"Kalau harapan saya ya, ini diproses hukum. Dan karena saya tak menikmati uangnya, ya nama saya tak tercatat pinjaman di bank," ujarnya.

Kuasa Hukum para korban dari LBH Anshor, Jayadi, mengatakan ada enam orang korban yang didampinginya melaporkan dugaan penyalahgunaan KUR di Bank plat merah tahun 2024 ini.

Di enam korban itu ada dua kelompok, dengan jumlah per kelompok 10 orang.

"Korban enam yang berani melapor," ujarnya.

Menurutnya, modus operandinya yakni dengan pinjam nama.

Di mana pelapor atau para korban diiming-imingi diberi bantuan dengan menyerahkan KTP dan KK.

Adapun untuk melampirkan SKU sebagai syarat pinjam KUR ini, kata Jay, dikoordinir oleh terlapor dengan inisial RAZ.

Ia menuturkan bahwa pihaknya sangat menyesalkan pihak bank saat melakukan analisa kredit.

Karena, bagaimana bisa orang-orang yang tak punya usaha dan dikoordinir sedemikian rupa kemudian dengan mudahnya bisa dapat KUR.

"Masing-masing Rp 100 juta. Bagi mereka masih muda, orang miskin, besar segitu mas. Siapa yang akan membayar. Tentu secara data, perbankan akan menagih pada mereka," pungkasnya.

Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved