Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Lebaran 2025

Silaturahmi Lebaran : Refleksi Kelulusan dari Madrasah Ramadhan

Lebaran kerap disebut hari kemenangan, namun di balik gemerlapnya perayaan tersimpan ujian yang mendalam

Editor: Samsul Arifin
istimewa
Mirza Muttaqien, Dirut Jatim Grha Utama dalam artikel berjudul 'Silaturahmi Lebaran : Refleksi Kelulusan dari Madrasah Ramadhan' pada Selasa, (1/4/2025). 

Oleh : Mirza Muttaqien, Dirut Jatim Grha Utama

TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Lebaran kerap disebut hari kemenangan, namun di balik gemerlapnya perayaan tersimpan ujian yang mendalam.

Setelah sebulan penuh menimba ilmu dan pengajaran di Madrasah Ramadhan, tiba saatnya kita merenung: apakah nilai-nilai yang kita pelajari benar-benar mengubah diri, ataukah mereka hanya sesaat, bagai aroma ketupat yang memudar segera setelah hari raya usai? Sebagaimana diungkapkan oleh KH Hasyim Asy’ari dalam Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim (1924), seorang Muslim tidak hanya diukur dari ketekunannya dalam menjalankan ibadah, melainkan juga dari cara ia memelihara dan mengembangkan hubungan dengan sesama. Oleh karena itu, momen silaturahmi di hari Lebaran bukan sekadar tradisi berkumpul, melainkan merupakan ujian praktik yang menguji apakah pelajaran-pelajaran Ramadhan telah benar-benar tertanam dan membentuk karakter kita.

Silaturahmi sebagai Cermin Praktik

Di bulan Ramadhan, setiap hari kita diberi kesempatan untuk mengasah berbagai kualitas diri yang sangat mendasar. Kita belajar menahan emosi, sehingga ketika menghadapi perbedaan pendapat atau komentar pedas dari kerabat, kita dapat merespons dengan ketenangan yang mencerminkan kesabaran yang telah diasah. Kita juga diajarkan untuk mendengarkan dengan sepenuh perhatian, seolah setiap cerita—meskipun diulang-ulang oleh kakek atau anggota keluarga lainnya—penuh dengan makna dan nilai yang perlu diapresiasi. Tidak kalah penting, Ramadhan mengajarkan kita arti memaafkan dengan ikhlas; di mana memaafkan tidak hanya sekadar ucapan yang diucapkan di saat bertemu, tetapi merupakan komitmen batin untuk menghapus dendam dan membuka pintu bagi kebersamaan yang lebih erat.

Dalam konteks tersebut, Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar (1982) pernah menyampaikan bahwa “Puasa yang hanya berhenti pada menahan lapar, ibarat sekolah yang hanya mengisi absen tanpa memberi pelajaran.” Pesan ini mengingatkan kita bahwa jika pelajaran dari puasa hanya dijalankan secara ritual belaka tanpa tercermin dalam tindakan nyata, maka semua usaha yang telah kita lakukan selama sebulan pun akan sia-sia. Ketika hari Lebaran tiba, setiap pelukan, setiap sungkem, dan setiap percakapan hangat yang terjadi selama silaturahmi menjadi cermin untuk menguji sejauh mana kita telah menginternalisasi nilai-nilai tersebut. Momen inilah di mana kita harus jujur pada diri sendiri: apakah permintaan maaf yang kita sampaikan merupakan wujud ketulusan yang mendalam, atau hanya sebuah formalitas yang diulang setiap tahun? Apakah kita masih mampu menahan emosi saat menghadapi situasi yang menantang, seperti kemacetan di jalan saat mudik atau komentar tajam yang muncul di tengah pertemuan keluarga? Dan, apakah semangat berbagi yang begitu kental di bulan suci hanya menguap bersama berakhirnya hari raya, seolah-olah kepedulian sosial hanya sementara? Semua pertanyaan ini adalah bagian dari ujian praktik yang diberikan oleh momen silaturahmi Lebaran, di mana setiap interaksi mencerminkan apakah pelajaran Ramadhan telah menjadi bagian dari jiwa kita.

Baca juga: Tangis Bahagia di Tiap Sudut Ruangan Warnai Kunjungan Tahana di Rutan Klas IIB Sampang saat Lebaran

Di sisi lain, tidak jarang kita menemukan momen-momen yang membesarkan hati di tengah keramaian silaturahmi. Misalnya, ketika kita mendapati diri kita mampu mendengarkan cerita yang sudah berkali-kali diulang dengan kesabaran yang tulus, atau ketika kita dengan ikhlas memaafkan kesalahan orang lain tanpa menyimpan dendam, itu adalah bukti nyata bahwa nilai-nilai kebaikan telah tumbuh subur. Bahkan, jika kebiasaan baik seperti rutin bersedekah dan menjaga konsistensi ibadah terus berlanjut meski Ramadhan telah usai, maka hal itu menunjukkan bahwa kita telah lulus dengan nilai yang memuaskan dari “sekolah” Ramadhan. Sebagaimana yang ditegaskan oleh KH Ahmad Dahlan, bahwa “hakikat ibadah terlihat dari bekasnya dalam kehidupan sehari-hari” (Dahlan, 1912). Dengan demikian, setiap tindakan kecil yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari menjadi indikator bahwa pelajaran yang diperoleh selama Ramadhan tidak hanya bersifat sementara, melainkan benar-benar membentuk karakter dan memperbaiki hubungan sosial.

Refleksi dan Pembelajaran Sejati untuk Perbaikan Diri

Setelah euforia silaturahmi mereda, tiba saatnya kita untuk merenung lebih mendalam. Pertanyaan-pertanyaan kritis pun muncul dalam benak: apakah perubahan positif yang kita rasakan selama Ramadhan masih tetap ada dalam keseharian kita? Bagaimana kualitas hubungan kita dengan keluarga, tetangga, dan teman setelah hari raya berlalu? Dan kebiasaan baik apa saja yang berhasil kita pertahankan? Seperti yang diungkapkan Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin (1096), “Konsistensi dalam kebaikan adalah ujian sejati dari sebuah perubahan.” Ungkapan ini menegaskan bahwa sebuah perubahan tidaklah cukup jika hanya terjadi sesaat; yang penting adalah bagaimana kita terus menerapkan nilai-nilai kebaikan secara konsisten dalam hidup.

Lebih jauh lagi, pemikiran Gus Dur dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita (2006) mengingatkan bahwa “Islam hadir untuk membangun kebersamaan, bukan untuk menambah beban kehidupan.” Jika setelah Lebaran kita masih mendapati diri terjebak dalam konflik atau tidak mampu menjaga keharmonisan, maka jelas bahwa pemahaman kita terhadap esensi ibadah masih perlu diperbaiki. Pesan-pesan tersebut mendorong kita untuk melihat bahwa Ramadhan dan Lebaran hanyalah bagian dari perjalanan panjang menuju perbaikan diri, bukanlah titik akhir yang menentukan kesempurnaan.

Baca juga: Hikmah Ramadan : Spirit Memulai Usaha Halal

KH Hasyim Asy’ari pernah menyatakan bahwa “seorang Muslim yang baik adalah yang kehadirannya membawa manfaat bagi sesama” (Hasyim Asy’ari, 1924). Pernyataan ini mengajak kita untuk tidak terlalu keras menghakimi diri sendiri, melainkan untuk terus kritis dan terbuka terhadap proses pembelajaran yang harus dijalani seumur hidup. Selama perjalanan tersebut, setiap kesempatan untuk memperbaiki diri merupakan modal berharga. Bila terdapat aspek ibadah atau hubungan sosial yang masih kurang ideal, selalu ada ruang untuk belajar dan melakukan perbaikan. Hal inilah yang membuat proses pembelajaran tidak pernah berhenti, dan setiap hari menjadi kesempatan baru untuk tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.

Pada akhirnya, momen silaturahmi di hari Lebaran adalah cermin yang jujur, yang menilai apakah kita telah benar-benar menginternalisasi dan mengamalkan pelajaran dari Ramadhan. Setiap senyuman tulus, pelukan hangat, dan ucapan maaf yang diucapkan dengan sepenuh hati adalah bukti bahwa kita telah belajar dan berusaha untuk membawa perubahan positif dalam kehidupan. Namun, jika masih terdapat tanda-tanda bahwa kita mudah tersulut, enggan mendengarkan, atau semangat berbagi hanya bersifat sesaat, maka itu menjadi sinyal bahwa masih ada hal-hal yang perlu diperbaiki—bahwa kita belum sepenuhnya lulus dari Madrasah Ramadhan.

 Sebagaimana pepatah Arab mengatakan, “Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, dialah yang beruntung.” Dengan semangat itu, mari kita jadikan Lebaran tidak hanya sebagai perayaan yang berlalu begitu saja, melainkan sebagai titik tolak untuk terus belajar, memperbaiki diri, dan membangun hubungan yang lebih harmonis. Perjalanan menuju perbaikan diri adalah proses yang berkelanjutan, dan setiap langkah kecil yang diambil dengan niat baik adalah bukti bahwa kita terus berusaha untuk menjadi manusia yang lebih baik.

Sumber: Tribun Jatim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved