Sandur Manduro: Tari Topeng Kuno dari Jombang yang Bertahan di Tengah Gempuran Zaman Digital
Di antara hamparan sawah dan perbukitan sunyi di Desa Manduro, Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang, terdapat suara bambu yang diketuk, langkah tari
Penulis: Anggit Puji Widodo | Editor: Sudarma Adi
Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, Anggit Pujie Widodo
TRIBUNJATIM.COM, JOMBANG - Di antara hamparan sawah dan perbukitan sunyi di Desa Manduro, Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang, terdapat suara bambu yang diketuk, langkah tari yang ditata, dan topeng-topeng tua yang terus menari dalam senyap waktu.
Di sinilah Sandur Manduro tetap hidup meski digerus zaman, ditinggal zaman digital, dan hampir terlupakan.
Rifai, pria berusia 43 tahun, berdiri di tengah aula sederhana berdinding anyaman bambu. Di hadapannya, sejumlah anak-anak kecil mengenakan ikat kepala batik, tengah berlatih gerakan tari.
Rifai bukan hanya pelatih. Ia adalah penjaga denyut terakhir Sandur Manduro, warisan seni pertunjukan yang dipercaya telah ada sejak zaman Majapahit.
Baca juga: 183 Remaja Pesta Dj dan Miras di Vila Wonosalam Jombang, Tertunduk Dijemput Orang Tua
“Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan melanjutkan?” ucap Rifai, Minggu (27/7/2025).
Warisan Leluhur
Sandur Manduro bukan kesenian biasa. Ia adalah pertunjukan yang menyatukan unsur tari topeng, musik bambu, dan kisah-kisah kerajaan yang dibawakan dengan narasi khas.
Tidak seperti pertunjukan lainnya yang kerap diiringi gamelan, Sandur Manduro tetap setia pada lima alat musik bambu sebuah kesederhanaan yang justru menjadi kekuatan.
“Yang membedakan kami itu, topeng Panji dari Kediri dan musiknya dari bambu. Jadi kalau ada yang pakai gamelan, itu bukan Sandur Manduro lagi,” jelas Rifai.
Manduro, sebagai desa, juga unik. Bahasa Madura digunakan sehari-hari oleh penduduknya, sebuah anomali linguistik di Kabupaten Jombang yang didominasi penutur Jawa.
Menurut Rifai, ada jejak sejarah pelarian bangsawan Majapahit ke Manduro pada era Adipati Arya Wiraraja, yang memperkuat dugaan bahwa seni ini punya akar peradaban yang panjang.
Dari Panggung ke Pinggiran
Sandur Manduro pernah mencapai masa emas. Rifai masih ingat betul ketika pertunjukan diundang hampir setiap pekan saat ia kecil di era 1980-an. Namun gelombang perubahan datang. Era televisi dan film VHS mulai menenggelamkan panggung-panggung desa.
“Sekitar tahun 90-an mulai sepi. Tidak ada yang mau latihan lagi, anak-anak lebih tertarik nonton video,” kenangnya.
| Yakin Gibran Tak Lulus SMA, Rismon dan Roy Suryo Sebut Prabowo Sudah Tahu Ijazah Sang Wapres Palsu |
|
|---|
| Profil Sie Kong Lian, Pemilik Rumah Kos Tempat Deklarasi Sumpah Pemuda, Fotonya Tak Pernah Ada |
|
|---|
| Kakek Tunanetra Tidur di Pinggir Jalan Berselimutkan Karung Glangsing, Ngaku Dibuang Keluarganya |
|
|---|
| Sumpah Pemuda, Wakil Ketua DPRD Jatim Ungkap 4 Aspek Strategis Dongkrak Daya Saing Anak Muda |
|
|---|
| Siswa SMPN 9 Surabaya Serentak Menulis Opini di Peringatan Sumpah Pemuda dan Bulan Bahasa |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jatim/foto/bank/originals/Kesenian-Sandur-Manduro-berupa-tari-topeng-panju-yang-masih-dilestarikan.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.