Panggung Rakyat Koalisi Masyarakat Sipil Surabaya : Suarakan Apa yang Harus Disuarakan
Panggung Rakyat yang digelar Koalisi Masyarakat Sipil Surabaya, Sabtu (9/8/2025) di halaman sekretariat GMKI (GMKI) Surabaya
Penulis: Eben Haezer Panca | Editor: Samsul Arifin
Laporan Wartawan tribun Jatim Network, Eben Heazer
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Ing lemah punika, getih naté tumetes,
Dudu namung eluh sing netes ing pipi kang nglaras,
Nanging nyawa lan janji kang wus kaserat,
Kanggo Merdeka, kanggo Indonesia kang ngadeg walat.
Lajeng rawuhipun jaman pambangunan,
angin reformasi nglilir kanthi angkara.
Bayarané: getih mancur, duka njalari rusuh,
sedulur dhewe kasiksa tanpa waspa.
Demokrasi ganti warni ing jaman kabuka.
Nanging tangis Nuswantara durung kendhat, amarga panguwasa ngapusi kawula, ngucap janji owah-owahan tanpa nyata.
Saiki wis yuswa wolung dasa taun kamardikan,
Merah Putih isih ngadeg, sanajan angin goroh nyoba ngoyak kasunyatan.
Nanging salaminé kita jujur lan njaga critané lan sejarahé,
Indonesia ora bakal ilang saking jagad lan jamané.
Bait-bait macapat berjudul Aja Lali, Aja Ngowahi Sejarah di atas dibacakan Rita Wahyu Wulandari sebagai salah satu pembuka Panggung Rakyat yang digelar Koalisi Masyarakat Sipil Surabaya, Sabtu (9/8/2025) di halaman sekretariat GMKI (GMKI) Surabaya, Jl Tegalsari 62, kota Surabaya.
Koalisi ini beranggotakan individu-individu dan organisasi-organisasi yang menolak penulisan ulang sejarah Republik Indonesia oleh pemerintahan Prabowo Subianto.
Baca juga: Presiden Prabowo Heran Pejabatnya Banyak yang Lulusan ITB: Yang Nyusun Kabinet Siapa ini?
Selain ketergesaan waktu pengerjaan dan minimnya keterlibatan publik, buku sejarah yang diterbitkan berpotensi menjadi instrumen legitimasi kekuasaan, menihilkan korban dan liyan, menghapus ingatan, menghilangkan pengetahuan serta mengabaikan tuntutan rakyat agar negara bertanggung-jawab pada peristiwa pelanggaran dan kejahatan HAM di masa lalu, termasuk kerusuhan Mei 1998.
Proses pembentukan tim penulis buku sejarah tersebut juga dilakukan dengan instan dan tanpa menyertakan pelibatan publik terutama dari kelompok korban.
"Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya kami untuk meningkatkan kesadaran publik melalui gerakan kolektif yang tidak hanya bersikap reaktif terhadap pernyataan yang menyakiti dan mengkhianati kebenaran, tetapi juga proaktif dalam mempertahankan keadilan, kejujuran, dan martabat bagi semua warga negara," kata Kandi Aryani Suwito, koordinator aksi.
Baca juga: Ujian Terberat Prabowo Selama 10 Bulan Menjadi Presiden RI Ternyata Bukan dari Dalam Negeri
Selain diisi pertunjukan budaya, Panggung Rakyat bertajuk Menyeduh Ingatan, Menolak Lupa tersebut diisi pula dengan diskusi yang menghadirkan akademisi Prof. Drs. Hotman Siahaan, Dr. Pinky Saptandari EP, Dr. Endah Triwijati (Tiwi), dan RD. Alexius Kurdo Irianto atau Romo Kurdo.
“Aksi ini menyuarakan apa yang seharusnya disuarakan dan mereka yang terbungkam, untuk meluruskan sejarah bangsa. Gerakan ini, salah satu misinya adalah merawat memori kolektif ingatan, dengan menolak tegas pengabaian, pelupaan dan penyesatan sejarah bangsa," kata Dr. Pinky Saptandari, Antropolog Fisip Universitas Airlangga.
Sementara Prof Hotman menyatakan, upaya pemerintah melakukan penulisan ulang sejarah adalah upaya untuk melegitimasi kekuasaan.
Baca juga: Reaksi NU Jombang Soal Marak Bendera One Piece: Jangan Lupakan Sejarah Karena Ikutan Budaya Populer
"Tetapi Kejahatan terhadap kemanusiaan tidak bisa dihapus dari sejarah. Sebesar apapun kekuasaan mencoba menghapus dan menghilangkannya dari dokumen. Ingatan sosial yang tertanam sangat dalam di memori sosial masyarakat akan tetap menjadi narasi yg membiak dari generasi ke generasi," kata guru besar Fisip Unair tersebut.
"Rezim kekuasaan selalu berganti tapi narasi sejarah akan tetap hidup di dalam ingatan sosial masyarakat. Pengalaman traumatis akan melanggengkan narasi sejarah, tetap hidup di benak masyarakat. Karma sejarah akan menghantui siapapun yang mencoba menghapus fakta sejarah demi kekuasaan," lanjutnya.
Sementara, Endah Triwijati, Ketua Kelompok Studi Gender dan Kesehatan Universitas Surabaya, menyoroti perempuan-perempuan korban kekerasan di masa lalu yang kisahnya hendak dihilangkan dalam buku sejarah RI.
"Peristiwa kerusuhan Mei 98, tubuh perempuan dari kelompok non-mayoritas lokal—Termasuk perempuan keturunan Arab dan Tionghoa—kembali menjadi sasaran. Pola Kekerasan ini bukan hal baru. Yang terjadi di Surabaya, mencerminkan pola serupa yang terjadi di Jakarta dan berbagai kota lain. Perempuan, yang sering dianggap sebagai lambang kehormatan kolektif, menjadi target paling rentan. Kekerasan yang memanfaatkan narasi kultural “perkosaan adalah aib keluarga, ditanggung turun temurun”. Tubuh mereka diserang secara seksual, dan dipinggirkan secara naratif: pengalaman mereka dihapus, dan suara mereka tak dipercaya," ujar Tiwi.
Setelah diskusi tersebut, para peserta aksi beramai-ramai melakukan cap tangan di spanduk bertuliskan Tolak Manipulasi Sejarah dan menyampaikan pernyataan sikap.
Berikut isi lengkap pernyataan sikap mereka:
Kami, Koalisi Masyarakat Sipil Surabaya, menyatakan sikap bahwa proses penulisan ulang sejarah Indonesia oleh Pemerintah Indonesia cacat moral dan historis. Penulisan sejarah bukan sekedar aktivitas naratif, tetapi memiliki tanggung jawab etis pada masa lalu, generasi masa depan, dan kehidupan berbangsa. Oleh karena itu kami:
1. Menolak buku sejarah yang dihasilkan oleh Kementerian Kebudayaan yang disetujui oleh DPR-RI dengan dana APBN 2025
2. Menolak penulisan ulang sejarah Indonesia oleh pemerintah karena akan menjadi instrumen legitimasi kekuasaan yang menutupi dan menghilangkan fakta sejarah, serta menghapus narasi-narasi yang berpihak pada korban, khususnya pada peristiwa pelanggaran dan kejahatan HAM di masa lalu. Upaya-upaya untuk memanipulasi fakta sejarah kami anggap sebagai bentuk kejahatan.
3. Mendesak pemerintah Indonesia menghormati, mengakui dan menjalankan temuan resmi lembaga negara, dokumentasi sejarah, kesaksian korban, pendamping korban, data investigatif, serta rekomendasi dari berbagai lembaga kredibel seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998, dan Tim Relawan untuk kemanusiaan.
4. Menuntut pemerintah Indonesia bertanggung jawab terhadap warganya didasarkan pada prinsip keadilan dan kemanusiaan yang inklusif, dengan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran dan kejahatan HAM berat di masa lalu, sebagai bagian dari proses rekonsiliasi nasional.
Koalisi rakyat sipil Surabaya
manipulasi sejarah
berita Surabaya Hari ini
TribunJatim.com
Tribun Jatim
jatim.tribunnews.com
Koalisi Masyarakat Sipil Surabaya
Sudahi Polemik Sound Horeg, SE Bersama Penggunaan Sound System di Jatim Resmi Terbit, Berikut Isinya |
![]() |
---|
Juladi Minta Warga Jangan Asal Usir dari Wilayah Sri Rejeki, Istrinya Stres: Kami Bukan Kriminal |
![]() |
---|
Sidoarjo Raih Penghargaan Jadi Kabupaten Layak Anak Tingkat Nasional, Bupati Subandi : Alhamdulillah |
![]() |
---|
Ismanto Ngurung Diri di Kamar usai Ditagih Pajak Rp2,8 M, KPP Pratama: itu Nilai Transaksinya |
![]() |
---|
Kecelakaan Maut di Bojonegoro, 2 Pemuda Tewas usai Jatuh Hantam Truk Parkir lalu Disambar Truk Lain |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.