Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Soroti Nota Keuangan RAPBN 2026 yang Disampaikan Presiden Prabowo, Said Abdullah: Realistis

Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah menyoroti Nota Keuangan RAPBN 2026 yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto kepada DPR, Jumat (15/8/2025). 

Editor: Sudarma Adi
Istimewa via Tribunnews.com
Ketua Banggar DPR RI, Said Abdullah 

TRIBUNJATIM.COM, JAKARTA - Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah menyoroti Nota Keuangan RAPBN 2026 yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto kepada DPR, Jumat (15/8/2025). 

Said menilai Nota Keuangan RAPBN 2026 tersebut ada sejumlah hal menarik yang dicermati bersama, antara lain, pemerintah memilih mengambil target target moderat dan realistis pada angka angka di RAPBN 2026.

Hal itu tampak dari sejumlah angka indikator asumsi ekonomi makro tahun 2026.
 
"Pertumbuhan ekonomi di targetkan sebesar 5,4 persen, Target inflasi di level 2,5 % , Yield SUN 10 tahun diproyeksikan sebesar 6,9 % , sedangkan kurs rupiah Rp 16.500/$. Sementara harga ICP 70$/barel, lifting minyak bumi 610 ribu barel/ hari, dan limiting gas bumi 984 setara ribu barel/hari," tuturnya dalam keterangan tertulisnya.
 
Dijelaskan, usulan atas angka ekonomi makro ini menunjukkan pemerintah memilih jalan moderat, atau titik tengah dari angka batas bawah dan atas atas kesepakatan antara Banggar DPR dengan pemerintah pada kesepakatan Kem PPKF.

Baca juga: Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah: Fungsikan WTO, IMF dan Bank Dunia Jadi Jalur Penyelesaian Adil

"Pilihan angka moderat ini menunjukkan pemerintah realistis dalam menghitung tantangan tahun 2026 yang tidak mudah, akibat dampak pemberlakuan tarif dari Presiden Trump, efek rambatan konflik gepolitik, menurunnnya daya beli rumah tangga, serta banyaknya lay off pada sektor manufaktur," tutur pria yang juga Ketua DPP PDI Perjuangan ini.
 
Said juga menilai untuk target pendapatan negara sebesar  Rp. 3.147,7 triliun, pemerintah lebih memilih batas atas dari pembicaraan awal pada Kem PPKF, sementara untuk belanja negara, sebesar Rp. 3.786,5 triliun menunjukkan pilihan yang berbeda, yakni mengambil angka moderat dari batas bawah dan atas.

"Dengan pilihan ini berkonsekuensi prosentase defisit RAPBN 2026 lebih rendah dari tahun 2025, yakni sebesar 2,48 % setara Rp. 638,8 triliun," katanya.
 
Tingginya target pendapatan negara yang dipilih oleh pemerintah patut didukung, namun pemerintah harus ekstra hati hati, terutama dalam hal kebijakan perpajakan.

"Saat ini ada sensitivitas tinggi ditengah tengah masyarakat, terutama sentimen negatif atas pengenaan pajak tinggi yang naik beratus ratus persen pada Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang diberlakukan di banyak pemda. Pemerintah hendaknya hati hati dan menimbang ulang jika menempuh kebijakan perluasan perpajakan, atau menaikkan tarif perpajakan untuk menguber target pendapatan," katanya.
 
Untuk itu dia menyarankan:

(1) pemerintah lebih fokus mengejar wajib pajak nakal yang melakukan penghindaran pajak, (2) memanfaatkan peluang dari perpajakan global paska kesepakatan di OECD, terutama atas beroperasinya berbagai layanan perusahaan multinasional pada lintas negara, (3) optimalisasi pajak karbon, upaya ini sekaligus mendorong transformasi perekonomian nasional lebih ramah lingkungan, (4) meningkatkan investasi pada sektor sumber daya alam, agar penerimaan negara dari bagi hasil sektor SDA semakin membesar.
 
"Sementara pada sisi belanja negara, pemerintah mengambil posisi angka tengah dari pembahasan Kem PPKF, hasilnya, strategi ini bisa menekan defisit APBN dibawah 2,5 % PDB, dengan demikian kebutuhan pembiayaan tidaklah terlalu besar," ujarnya.
 
Terhadap postur belanja negara, alokasi belanja pusat jauh lebih besar dibandingkan transfer ke daerah dan desa.

Rancangan pelanja pusat sebesar Rp. 3.136,5 triliun, sementara APBN 2025 sebesar Rp. 2.701,4, atau naik 435,1 triliun, sebaliknya alokasi transfer ke daerah dan desa malah mengecil menjadi Rp. 650 triliun dari APBN tahun 2025 sebesar Rp. 919,9 triliun atau turun Rp. 269,9 triliun
 
"Kecenderungan makin memusatnya anggaran negara ke pusat perlu pertimbangkan ulang oleh pemerintah, dan di saat yang sama kewenangan pemda juga semakin mengecil paska Undang Undang Cipta Kerja. Situasi ini membuat fiskal daerah akan semakin melemah, sehingga inisiatif pembangunan di daerah hanya akan bertumpu pada anggaran pusat," pungkasnya.

Sumber: Tribun Jatim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved