TRIBUNJATIM.COM - Tim gabungan untuk mengusut kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan dan menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM telah dibentuk Polri.
Surat tugas pembentukan tim gabungan dikeluarkan pada 8 Januari 2019 dan ditandatangani oleh Kapolri Jenderal Pol. Tito Karnavian.
Tim gabungan akan bekerja selama enam bulan terhitung mulai 8 Januari 2019 sampai dengan 7 Juli 2019.
Dalam surat itu, tim diperintahkan melaksanakan setiap tugas serta melakukan koordinasi dan kerja sama dengan berbagai pihak dan instansi terkait berdasarkan prosedur tetap yang telah diatur sesuai dengan perundang-undangan.
Namun, pembentukan tim gabungan justru menuai kritik dari elemen masyarakat sipil.
• 661 Hari Kasus Novel Baswedan, Jubir KPK: Tanyakan ke Polri Kenapa Pengungkapan ini Belum Selesai
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani menilai, pembentukan tin gabungan sarat dengan kepentingan politik karena tim tersebut dibentuk menjelang debat capres pada 17 Januari 2019.
Sementara, desakan dari masyarakat sipil untuk membentuk tim gabungan pencari fakta yang independen sudah sejak lama digaungkan.
"Pembentukan tim gabungan terkesan hanya untuk menyiapkan jawaban saat debat capres," ujar Yati saat ditemui di Kantor Kontras, Jakarta Pusat, Jumat (11/1/2019).
Hal senada diungkapkan oleh kuasa hukum Novel Baswedan, Haris Azhar. Haris merasa aneh dengan pembentukan tim gabungan yang dilakukan jelang debat capres.
Haris khawatir tim gabungan dibentuk hanya untuk kepentingan Presiden Joko Widodo saat debat.
"Aneh, kok seolah bekerja pas mau debat. Saya khawatir dibentuk tim ini, hanya untuk menyediakan jawaban buat Jokowi saat debat," ujar Haris kepada Kompas.com, Sabtu (12/1/2019).
Indepedensi Tim Gabungan
Selain soal waktu pembentukan, Yati dan Haris juga mengkritik soal komposisi anggota tim gabungan.
Dari salinan surat tugas dengan nomor Sgas/3/I/HUK.6.6/2019 yang diterima Kompas.com, tim gabungan terdiri dari 65 orang.
Sebanyak 53 orang berasal dari Polri, dua orang pakar, satu akademisi, satu orang dari unsur organisasi masyarakat sipil, satu orang Komisioner Kompolnas, dua orang mantan Komisioner Komnas HAM, dan lima orang dari unsur KPK.
Menurut Yati, jika melihat dari komposisi anggota, tim gabungan tersebut tidak memenuhi harapan masyarakat sipil terkait aspek independensi.