Kilas Balik

Cerita Saat Jepang Tak Lagi Dukung Soekarno Jelang Supersemar, Istri Sang Presiden Sempat Dilibatkan

Penulis: Ani Susanti
Editor: Pipin Tri Anjani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dewi Soekarno (Ratna Sari Dewi) dan Presiden Soekarno.

Inilah cerita saat Jepang mengalihkan dukungannya dari Soekarno jelang Supersemar. Ada kisah peran dari istri kedua sang presiden.

TRIBUNJATIM.COM - Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) lahir di tahun 1966.

Lahirnya Supersemar menjadi momentum peralihan kekuasaan Presiden pertama RI, Soekarno, ke Soeharto.

Ada beberapa kisah yang terungkap dalam peristiwa tersebut.

Satu di antaranya adalah kisah saat Jepang mengalihkan dukungannya dari Soekarno jelang lahirnya Supersemar.

Ketakutan Soekarno Saat Istana Dikepung Pasukan Liar Jelang Lahirnya Supersemar, ke mana Soeharto?

Proklamasi dan Soekarno (ISTIMEWA)

Diketahui, pemerintah Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Jepang pada Januari 1958, sekitar 8 tahun setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda.

Lewat San Francisco Peace Treaty, Jepang diperintahkan untuk membayar ganti rugi perang kepada negara-negara yang telah dirusaknya selama Perang Dunia II.

Pembayaran ganti rugi perang ini bermakna penting karena memberi warna hubungan Indonesia-Jepang pada periode terakhir pemerintahan Soekarno.

Namun, hubungan Jepang dan Indonesia kembali bergejolak setelah Tanah Air dilanda pergolakan politik pada tahun 1965.

Natasha Wilona Jawab Gosip Kedekatan dengan Anak Hotman Paris, Singgung Masa Sebelum Pacari Verrell

SBY Bocorkan SMS Kemarahan Orang yang Tak Dipilihnya Jadi Menteri, Ani Yudhoyono Ungkap Sebabnya

Dilansir dari Kompas.com, penulis buku Peristiwa 1965: Persepsi dan Sikap Jepang, Aiko Kurasawa, mengatakan, pada awal tahun 1965, hubungan Jepang dengan Soekarno masih sangat baik.

Jepang masih tetap mendukung Soekarno dan tidak menganggap Soekarno berpihak pada sayap kiri.

Namun, menjelang Oktober 1965, Jepang melihat Soekano tidak bisa mengendalikan situasi.

Situasi politik dan ekonomi Indonesia kian memburuk.

"Pada akhirnya, bulan Oktober 1965, Jepang mulai mengalihkan keberpihakannya pada Angkatan Darat," ujar Aiko dalam diskusi bulanan Penulis Buku Kompas di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah Selatan, Kamis (10/3/2016) lalu, dikutip TribunJatim.com, Senin (4/3/2019).

Kisah Soeharto Bubarkan PKI Pasca Pemberontakan G30S/PKI, Tak Ada di Supersemar

Dewi Soekarno, istri Bung Karno berdarah Jepang. (Kompas.com)

Menurut penuturan Aiko, Jepang saat itu menerapkan politik diam atau wait and see.

Pada awal bulan Januari 1966, Dewi Soekarno (Ratna Sri Dewi), istri Bung Karno yang berdarah Jepang berkunjung ke Negeri Sakura.

Ia menyerahkan surat dari Soekarno kepada Perdana Menteri Sato.

Namun, responsnya dingin.

"Tidak ada bantuan atau nasihat dari Jepang untuk Soekarno saat itu," ungkapnya.

6 Foto Gantengnya Soeharto di Masa Muda, Saat Masa Supersemar hingga G30S/PKI, No 5 Bikin Terpesona

Lebih lanjut, Aiko menceritakan, saat Indonesia mulai bergejolak, media massa Jepang banyak memberitakan bahwa Soekarno akan meminta suaka ke Jepang.

Pemerintah Jepang sudah yakin bahwa Soekarno akan jatuh.

Maka dari itu, Jepang berinisiatif untuk mendukung kelompok-kelompok yang anti-Soekarno.

5 Fakta Misteri Supersemar, Naskah Asli yang Menghilang hingga Jadi Awal Peralihan Kepemimpinan

Jepang juga memprediksi bahwa Soekarno akan meminta suaka karena istri keduanya itu, Dewi Soekarno, sudah kembali ke Jepang.

Bahkan, kata Aiko, Dewi Soekarno pernah bercerita kepada dirinya, ada seorang pejabat pemerintahan Jepang yang memberikan 6 juta yen kepada seorang aktivis anti-Soekarno.

"Itu menurut penuturan dari Dewi Soekarno, meski setelah itu dibantah oleh Pemerintah Jepang," kata Aiko.

Artikel Kompas.com.

Presiden Soekarno (ipospedia.com)

Ketakutan Soekarno Saat Istana Dikepung Pasukan Liar Jelang Lahirnya Supersemar

Dilansir dari Kompas.com, hari Jumat, 11 Maret 1966, seharusnya menjadi hari yang biasa bagi Presiden Soekarno dalam memimpin rapat kabinet di Istana Merdeka.

Semua menteri hingga kepala lembaga diperintahkan wajib hadir dalam rapat paripurna pertama Kabinet 100 menteri yang merupakan hasil reshuffle Kabinet Dwikora yang didemo mahasiswa.

Dikutip dari buku Presiden (daripada) Soeharto, pagi-pagi sekali, Soekarno meminta para pembantunya hadir ke istana untuk menghindari aksi unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa.

Rapat dimulai pada pukul 09.00 WIB, meski ada beberapa menteri yang terlambat datang karena dihadang mahasiswa di jalan.

Soeharto, yang kala itu menjabat sebagai menteri/Panglima Angkatan Darat, tidak bisa hadir karena sakit.

Cerita Perjodohan Pak Harto dan Bu Tien, Soal Persetujuan Orang Tua Tien Jadi Keraguan Soeharto

Untuk itu, Soekarno memerintahkan Pangdam V Jaya Brigjen Amir Mahmud untuk ikut sidang kabinet sebagai sandera apabila terjadi sesuatu.

Sepuluh menit rapat berjalan, Komandan Cakrabirawa Brigjen Sabur, mengirim nota kepada Brigjen Amir Mahmud yang menyatakan ada pasukan liar di luar istana.

Namun, hal ini tidak digubris Amir Mahmud.

Menguak Peran Penting Gus Dur di Balik Perayaan Imlek, Keputusan Setelah Era Soeharto Paling Diingat

Presiden Soekarno (kanan, berpeci) (Dok. Kompas/Song)

Sabur pun ketakutan hingga akhirnya mengirim nota langsung kepada Presiden Soekarno yang masih memimpin sidang.

"Membaca laporan Brigjen Sabur, Soekarno menjadi kalut. Laporan tersebut dilaporkan kepada Wakil Perdana Menteri Dr. Leimena, Dr. Soebandrio, dan Chairul Saleh," tulis Jonar TH Situmorang dalam bukunya Presiden (daripada) Soeharto ini.

Soekarno langsung meninggalkan rapat dan menyerahkan sisa rapat dipimpin oleh Leimena.

Namun, ketergesaan Soekarno itu membuat para menterinya tak tenang mengikut rapat.

Hingga akhirnya rapat ditutup.

Soebandrio yang saat itu menjabat Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) lari terbirit-birit mengejar Bung Karno yang sudah berjalan bersama pengawalnya menaiki helikopter untuk diamankan ke Istana Bogor.

Cerita para Istri Soekarno, Cinta Terakhir hingga Istri yang Menemaninya di Detik-detik Wafatnya

Berita Terkini