Karena partai pun dalam hal ini PDIP juga mempunyai saran, usulan, dan pemikiran yang konstruktif yang bisa menjadi pertimbangan Wali Kota Surabaya dalam mengambil keputusan.
Sukadar mencontohkan kasus Pedagang Kaki Lima (PKL), kemudian soal kesenian dan budaya yang ditangani Risma tanpa adanya komunikasi terlebih dahulu dengan partai.
"Penataan PKL misalnya, sebelum digusur harusnya ada tempat untuk relokasi lebih dulu. Ada solusi dulu. Kemudian di bidang olahraga, Persebaya itu kan kebanggan warga kota Surabaya. Mess kan diambil pemkot. Padahal itu kebanggaan warga kota, akhirnya Persebaya kesulitan cari tempat, tidak bisa di-follow up." lanjutnya.
Sukadar juga mencontohkan kasus yang dialami seniman di Taman Hiburan Rakyat yang ditutup.
Banyak seniman dan budayawan yang mengeluh.
"Belajar dari itulah, kami bisa menyimpulkan bahwa sebenarnya opini yang dibangun pemerintah kota terkait keberhasilannya, tidak sebanding dengan di lapangan." tutupnya.
Bambang DH Angkat Bicara Soal Pengalaman Pahit
Ramai munculnya sejumlah nama tokoh yang disebut-sebut layak maju menggantikan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dalam Pilwali Surabaya 2020 turut memunculkan tokoh dari kalangan birokrasi.
Salah satu yang cukup santer adalah nama Eri Cahyadi, yang kini menjabat sebagai Kepala Bappeko Surabaya.
Saat ditanyakan pada Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) PDIP Bambang DH terkait peluang mengusung Eri Cahyadi, pria yang juga mantan Wali Kota Surabaya ini menyebut tetap ada peluang. Namun akan cukup berat.
"Kalau bicara peluang diusung, ya 1 sampai 100 persen," kata Bambang DH, pada Surya, Minggu (16/6/2019).
Akan tetapi, ia menyebut bahwa untuk memutuskan nama siapa yang akan direkom oleh PDIP sebagai pemenang pileg di Surabaya, membutuhkan proses panjang.
Ada mekanisme partai yang berjalan. Mulai dari siapa yang akan dicalonkan oleh DPC PDIP Kota Surabaya untuk kemudian dibawa ke DPP. Baru setelah itu DPP akan memutuskan siapa nama yang akan diusung maju dalam Pilwali Surabaya 2020.
Meski begitu, sosok politisi ulung ini menyebut bahwa ada hasil kongres terakhir yang menjadi pertimbangan daerah dalam mengusung calon dalam Pilkada serentak mendatang. Salah satunya adalah ada kriteria agar lebih diprioritaskan untuk mengusung kader sendiri.
"Kita punya pengalaman pahit, di sejumlah daerah. Bahkan kepala daerah yang kita usung dari unsur birokrasi, akhirnya menghasilkan kepala daerah yang sulit untuk berkomunikasi dengan partai," katanya.