Laporan Wartawan TribunJatim.com, Nur Ika Anisa
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Hukuman kebiri yang akan diterima Muhammad Aris (20) terpidana kekerasan seksual kepada sembilan anak di Mojokerto, masih menjadi pro kontra berbagai pihak.
Hukuman kebiri kimia tersebut menjadi hukuman tambahan disamping tahanan 12 tahun dan denda 100 juta subsider enam bulan kurungan.
Ketua Pusat Hak Asasi Manusia Ubaya Sonya Claudia Siwu menilai kebiri kimia menjadi kemunduran hukum pidana di Indonesia dalam menangani kekerasan seksual.
Sebab, tidak harus hukum pidana tambahan dengan cara kebiri kimia yang perlu dilakukan untuk memberikan efek jera kepada pelaku predator anak.
"Hukum pidana jangan hanya jera secara fisik. Harus ada upaya progresif kedepan membuat pelaku jera tanpa harus melanggar hak asasi mereka," kata Sonya Claudia Siwu di Ubaya, Selasa (27/8/2019).
• BREAKING NEWS - Gudang Barang Bekas di Kota Madiun Ludes Terbakar, Diduga Penyebabnya ini
• Pastikan Tidak Ada OPM di Asrama Papua Surabaya, Gubernur Papua Lukas Sudah Lapor Jokowi
• Predator 9 Anak di Mojokerto Tolak Vonis Kebiri Kimia, Terdakwa: Lebih Baik Dihukum Mati Saja
Menurutnya, hukum tambahan kebiri kimia tidak pula menjamin dapat menghentikan hasrat seksual pelaku.
"Itu tidak menjawab kejahatan akan berhenti, buat jera pelaku tapi jangan sampai melanggar hak dia. Memang dia melanggar hak anak tapi sanksi pidana bukan lagi jerat fisik," kata kepada Tribunjatim.com.
Pihaknya turut menghormati adanya dasar hukum UU RI nomor 17 tahun 2016 tentang penetapan Perpu nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU RI nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Namun, ia meminta pemerintah turut mengkaji hukuman yang terdapat penyiksaan fisik kepada pelaku.
"Kejahatan seperti ini kejahatan serius untuk anak-anak. Pemerintah harus mengkaji lagi, ini kejahatan yang serius. Pemerintah harus hati-hati juga jangan sampai melanggar hak dia meskipun dia melanggar hak anak," kata kepada Tribunjatim.com.