Ada 'Typo', Draf UU KPK Dikembalikan Lagi ke DPR RI oleh Istana Negara

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Menteri Sekretaris Negara RI Pratikno saat ditemui di Hotel Bumi Surabaya

TRIBUNJATIM.COM, JAKARTA - Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyebut, Istana Kepresidenan harus mengembalikan draf Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru disahkan ke DPR.

Menurutnya, pihak Istana Negara menemukan 'kesalahan pengetikan'. DPR pun diminta memperbaiki kembali.

"(Draf UU KPK) sudah dikirim (ke Istana), tetapi masih ada typo, yang itu kami minta klarifikasi. Jadi mereka sudah proses mengirim katanya, sudah di Baleg (DPR)," kata Pratikno di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (3/10/2019).

Namun, Pratikno enggan menjelaskan lebih jauh soal kesalahan pengetikan itu. Ia juga enggan membeberkan terkait berapa banyak salah ketik di UU KPK.

(Polres Mojokerto Ajak Pelajar Deklarasi Damai, Tak Terprovokasi Ikut Demo Tolak RUU KUHP & RUU KPK)

"Ya typo-typo yang perlu klarifikasi, yang nanti bisa menimbulkan interpretasi," kata dia.

Pratikno belum mengetahui secara pasti apakah draf UU tersebut sudah diperbaiki oleh DPR dan dikirimkan lagi ke Istana. Ia mengaku akan mengeceknya.

"Mestinya sudah. Saya cek. Ini saya mau cepet ke kantor," kata Pratikno.

Akibat terjadi kesalahan pengetikan, Presiden Joko Widodo belum menandatangani dan mengundangkan UU tersebut.

Sementara saat ditanya apakah Presiden jadi menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk mencabut UU KPK ini, Pratikno tidak memberi jawaban.

Ia meminta publik sabar menunggu keputusan Presiden Jokowi.

(Demo Tolak UU KPK, Ribuan Mahasiswa Buka Konser Mini Nyanyi Tikus Kantor)

UU KPK hasil revisi ramai-ramai ditolak karena dinilai telah disusun secara terburu-buru tanpa melibatkan masyarakat dan unsur pimpinan KPK.

Isi UU KPK yang baru juga dinilai mengandung banyak pasal yang dapat melemahkan kerja lembaga antirasuah.

Misalnya, KPK yang berstatus lembaga negara dan pegawai KPK yang berstatus ASN dapat mengganggu independensi.

Dibentuknya dewan pengawas dan penyadapan harus seizin dewan pengawas juga bisa mengganggu penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK.

Kewenangan KPK untuk bisa menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam jangka waktu dua tahun juga dinilai bisa membuat KPK kesulitan menangani kasus besar dan kompleks.

Halaman
12

Berita Terkini