Sebagai contoh, dalam buku sejarah, pemicu perang Diponegoro secara umum terbatas pada penderitaan masyarakat dan pemasangan patok-patok yang melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro. Akan tetapi, dengan ketersediaan berbagai sumber di internet, dapat ditemukan berbagai ragam penyebab atau pemicu Perang Diponegoro, mulai dari persaingan antara pedagang pribumi dan asing, perdagangan candu, proyek infrastruktur, sampai dengan konflik internal keraton terkait suksesi. Di sinilah peluang sekaligus tantangan pendidikan sekarang dan peran guru sebagai fasilitator.
Guru memfasilitasi siswa untuk mengakses pengetahuan dari berbagai sumber, melakukan verifikasi dan validasi, membandingkan satu pengetahuan dari satu sumber dengan sumber lainnya, membandingkan satu informasi dengan informasi lainnya, dan pada akhirnya menarik kesimpulan dari informasi-informasi tersebut.
Aktivitas ini yang sering disebut sebagi critical thinking yang merupakan satu mata rantai dari Higher Order Thinking Skill (HOTS). Di bidang ini, pendidikan di Indonesia dianggap tertinggal dengan negara-negara lain, salah satunya dilihat dari skor PISA tahun 2018 di mana siswa Indonesia tertinggal dibandingkan rata-rata negara OECD baik dalam bidang matematika, sains, maupun literasi.
Media sosial memungkinkan interaksi antara guru dengan siswa dan antar siswa dalam pembelajaran, terutama di luar kelas. Saat ini, sangat mudah ditemui antarsiswa saling berdiskusi mengenai pekerjaan rumah, tugas, ujian, maupun materi pelajaran melalui grup di media sosial. Antarsiswa juga saling bertukar jawaban pekerjaan rumah melalui media sosial. Guru kelas dan orang tua murid juga membuat grup media sosial sendiri untuk mendiskusikan hal-hal terkait proses pendidikan anak. Hal ini tentu mustahil pada 10 atau 20 tahun yang lalu. Di masa lalu, komunikasi antara guru dan orang tua pada umumnya berlangsung pada saat pembagian rapor atau orang tua dipanggil ke sekolah karena anaknya bermasalah.
Potensi internet dan media sosial tentu jauh lebih besar daripada itu. Berbagai fitur kelas virtual, antara lain Google Classroom dapat dimanfaatkan oleh guru dan siswa untuk membangun proses pembelajaran di luar kelas.
Guru dapat membagikan materi pelajaran di ruang tersebut sehingga siswa dapat mengaksesnya kapan saja dan di mana saja. Siswa juga dapat mengumpulkan tugas-tugas atau pekerjaan rumah melalui layanan kelas virtual. Dengan demikian, kondisi siswa tidak mengumpulkan pekerjaan rumah karena lupa membawanya ke sekolah dapat diminimalkan.
Keberadaan media sosial seperti Instagram juga dapat dimanfaatkan oleh guru untuk berbagi materi pelajaran atau contoh-contoh soal dan tugas kepada masyarakat umum. Sekolah juga dapat menayangkan kegiatan-kegiatan akademik di sekolah sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban publik secara informal sekaligus meningkatkan kredibilitas sekolah.
Kata kunci pemanfaatan gawai untuk media pembelajaran adalah kepercayaan. Guru dan orang tua perlu memberikan kepercayaan kepada siswa atau anaknya bahwa siswa atau anak akan menggunakan gawai untuk kegiatan yang positif.
Di sisi lain, orang tua tetap tidak lepas tangan dalam mengatur jam penggunaan gawai pada anak-anaknya. Dalam hal ini, keteladanan menjadi sangat penting di mana orang tua juga mengatur dirinya sendiri untuk tidak menghabiskan waktu terlalu banyak dalam mengakses gawai.
Kontrol akses dapat dilakukan dengan orang tua membuatkan akun Google atau media sosial dengan benar, terutama terkait usia anaknya karena secara sistem Google akan menyaring konten-konten sesuai dengan batasan usia.
Dr Purba Daru Kusuma/Dekan Fakultas Teknik Elektro Institut Teknologi Telkom Surabaya